Jumat, 20 Maret 2015

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADIST



SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADIST

Makalah ini di ajukan guna memenuhi
 salah satu tugas mata kuliah ulumul hadis
Dosen pengampu : Muhammad Dzofir, M.Ag
 











Disusun Oleh :
Umi Nur Hasanah                   :  1310110133
Adib                                        : 1310110142
Dian El rachma                       : 1310110148
Muhammad Ali Mahmudi      : 1310110151

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / D-PAI
Tahun 2014

BAB  I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Telah kita ketahui bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga sejumlah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nama orang-orang yang masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang[1]
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash. Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al Khudri meyebutkan
لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْسَحُهُ
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia telah diketahui tentang adanya sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya[2]. Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar.[3]
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar :
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain.[4]
B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah perkembangan pembukuan hadis ?
2.      Bagaimana terjadinya pemalsuan hadis dan upaya penyelamatannya ?
C.   TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan pembukuan hadis
2.      Untuk mengetahui terjadinya pemalsuan hadis dan upaya penyelamatannya









BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADIST

A.    PERIODE PERKEMBANGAN HADIS

Menurut M. Hasbi ash-shiddieqy, perkembangan hadis telah melalui enam periode dan sekarang telah menempuh periode yang ketujuh.[5]

1.       Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
            Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
وحدثوا عني ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
”Dan ceritakanlah dariku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”(H.R Muslim)

·        Sebab-sebab hadis tidak ditulis setiap kali Nabi SAW. menyampaikannya.
Semua penulis sejarah rasul, ulama hadist dann umat islam bahwa Al-Qur’an mendapat perhatian penuh dari Rasulullah dan dari para sahabat. Rasul memerintahkan para sahabat untuk menghapal Al-Qur’an dan menulisnya di keeping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan lainnya. Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an telah dihapal deengan sempurmna dan telah lengkap ditulis, tapi belum dalam bentuk mushaf. Hadis dan sunnah, walaupun merupakan sumber yang penting pula,dari sumber-sumber tasyri’, tidak memperoleh perhatian yang demikian
Perbedaan perhatian ini disebabkan oleh beberapa factor :
a.       Men-Tadwin-kan (membukukan) ucapan, amalan, serta muammalah Nabi adalah suatu hal yang sukar, karena memerlukan adanya golongan sahabat yang terus-menerus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut diatas, padahal orang-orang yang bisa, menulis pada masa itu bisa dihitung dengan jari
b.      Karena orang Arab, disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca tulisan. Kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala yang mereka ingin hafalkan. Menghafal wahyu yang turun berangsur-angsur merupakan hal yang mudah, tidak seperti hadis.
c.       Dikhawatirkan akan bercampur dalm catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak sengaja. Karena itu nabi melarang mereka menulis hadis.[6]
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang  dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku” maka nabi SAW bersabda
اكتبوا لابي شاة
“tuliskanlah untuk abu syah ini.”[7]
            Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw  kepada Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Daud;
اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه إلا حق
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran” (H.R Abu Daud)
Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa larangan menulis hadis yang di-nasakh-kan oleh hadis abu said, dimansukhkan dengan izin yang datang sesudahnya sebagian ulama’ yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mencapuradukkan hadis dengan Al-Qur’an. Izin  hanya diberikan kepada mereka yang tidak dukhawatirka mencampurkan hadis dengan Al-Qur’an.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentang antara larangan dan keizinan, apabila kita pahami, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Qur’an, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri

2.      Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat).[8]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[9]
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1.      Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafaz asli dari Nabi SAW.[10]
Dalam periode ini belum terjadi pembukuan hadis secra resmi dikarenakan para sahabat berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraanya. Karena itu, tidak sah mereka membukukan yang mereka perselisihkan itu.  
Para sahabat membuka jalan mencari hadis kepada umat sendiri. Mereka mengumpulkan sekedar kesanggupannya. Dengan demikian tersusunlah segala sunnah. Lantaran itu, ada yang dapat menukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasulullah. Dan sunah-sunnah yang bersih dari ‘illah (cacat), ada yang hanya dihafal maknanya telah dilupakan lafalnya dan ada ynag berselisihan riwayat daam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisihan pula perawinya tentang keprcayaan dan keadilan pemberitanya. Itulah sunnah-sunah yang dimasuki ‘illah.
Sunnah-sunnah dipilih mana yang shahih dan yang tidak oleh ulama’ yang ahli, berdasarkan keada dasar-dasar yang shohih dan sendi-sendi yang kuat yang tidak dapat dicacatkan lagi oleh seorang pencacat, atau dilemahkan.[11]

3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadis serta menyebarkannya kemasyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis. Pada tahun 17, tentara Islam mengalahkan Syria dan Iraq. Pada tahun 20 H, mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H, mengalakan Persia. Pada tahun 56 H, tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H, tentara Islam menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudia menjadi “perguruan” tempat mengajar Al-Qur’an dan Al-Hadis yang meghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadis.
Para sahabat yunior banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah) untuk menghimpun atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat yang lebih senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos perjalanan hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.
Dari Abdullah bin Unays tentang Hadis
يخشر الناس عراة عزلا بهما    (رواه البخارى احمد االطبرانى البيحاقى)   
“ Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak berpakaian, berwarna hitam” (HR Bukhari, Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)

         Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang belum pernah ia dengar, yaitu sabda Nabi:
من ستر مؤمنا فى الدنيا على كربته سترالله يوم القيامة   (رواه البيحا قى)
“ Barang siapa yang menutupi kesukaran-kesukaran orang mukmin di dunia, maka Allah akan menutupinya pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)
Ada 6 orang diantara sahabat yang banyak meriwayatkan hadits ialah:
1.      Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300 orang diantara sahabat.
2.      Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635 buah hadis
3.      Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis
4.      ‘Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis
5.      Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis
6.      Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis
Di antara kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai berikut:
1.      Madinah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah),Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Abu Said Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada mereka adalah: Sa’id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi’, Abi Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.
2.      Makkah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah Mu’adz bin Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada mereka adalah: Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair Muhammad bin Muslim.
3.      Kufah
Diantara pemimpin besar hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang belajar dari padanya antara lain Masruq,Ubaydah,Al-Aswad,Syuraih,Ibrahim,Said bin Jubair, Amir bin Syurahil, dan Al-Sya’bi.
4.      Bashrah
Di antara tokoh hadis di kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik, ‘Utbah, ‘Imran bin Hushain, Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, ‘Abdurrahman bin Samurah, dan lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada mereka antara lain: Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri, Muhammad bin Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu Burdah bin Abu Musa.
5.      Syam
Di Antara sahabat yang mengembangkan hadits di Syam adalah Mu’adz bin jabal, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah Abu idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.
6. Mesir
Di antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin Harits, dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi’in antara lain Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.

·         Mulai Timbul Pemalsuan Hadis
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitnah besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan;
1.      Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua kelimpok yang bertikai.
2.      Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali
3.      Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas. Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali,ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
            Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya Hadis mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal yang kemudian diboncengi faktor-faktor lain. Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha menjaga kemurnian Hadis dengan serius dan sungguh-sungguh, diantaranya mengadakan perlawatan ke berbagai daerah Islam untuk mengecek kebenaran Hadis yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan ataupun sanad.[12]

4.      Periode keempat (Masa Pembukuan Hadis)
·         Permulaan masa pembukuan hadits
Sudah dapat dipahami bahwa dalam abad pertama hijrah, mulai dari zaman rasul, masa khulafa’ur Rasyidin dan sebagian besar zaman amawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perowi meriwayatkannya berdasarkan kekuatan hafalannya. Pada masa itu mereka belum terdorong untuk membukukannya. Hafalan mereka terkenal kuat. Kekuatan hafalan para sahabat dan tabi’in dialui sejarah.
Ketika kekhalifahan dipegang kembali oleh Umar ibn Abd al-Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 H. seorang khalifah dari dinasti amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai “khulafa’ur Rasyidin yang kelima”, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal, beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) hadits dari perawinya, mungkinlah hadits-hadits itu akn lenyap dari prmukaan bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya ke alam barzah.
Untuk mewujudkan maksut mulia itu, pada tahun 100 H. khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hamzin (120 H ). Yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, ibn Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abd ar-Rahman ibn Saad ibn Zurarah ibn Ades, seorang ahli fiqih, murid Aisyah (20 H. = 642 M. -98 H. = 716 M. atau 106 H. =724 M.) dan hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr ash- Shiddiq ( 107 H. = 725 M.), seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqoha tujuh Madinah.
Kitab yang ditulis oleh ibn Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas perintah kepala Negara, namun tidak sampai kepada kita karena tidak terpelihara dengan semestinya. Kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Al- Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az-Zuhry membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Dia memang terkenal sebagai seorang ulama’ hadits yang besar di masanya.
Kemudian ulama besar berlomba-lomba membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas as-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Akan tetapi tidak diketahui lagi, yang mula-mula membukukan hadits sesudah Az-Zuhry itu, karena ulama tersebut yang dating sesudah az-Zuhry seluruhnya semasa.
Para pengumpul pertama hadis yang tercatat sejarah adalah :
1.        Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.        Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.        Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4.        Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5.        Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
6.        Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7.        Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
8.        Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.        Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10.       Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
1.      Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
2.      Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3.      Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
4.      Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5.      Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
6.       Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7.       Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
8.       Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
9.       Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10.  A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11.  Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12.  Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
13.  Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
Ulama’ pada abad kedua membukukan hadis dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadis saja, fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga juga dibukukan bersama. Maka dalam kitab itu terdapat hadis marfu’, mauquf, dan hadis maqthu’.
·         Bertambah Luasnya Pemalsuan Hadis
Diantara hal yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadis. Dalam masa ini muncullah propaganda-propaganda politik Amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi massa, dibuatlah hadis-hadis palsu.
Disamping itu muncul pula golongan zindiq (pura-pura Islam), tukang kisah yang berdaya upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya deng membuat kisah-kisah palsu yang disandarkan kepada hadis-hadis maudhu’ (palsu).
Hal ini menyebabkan sebagian ulama’ terdorong mempelajari keadaan perawi-rawi hadits ( ilmu jarh wa at-ta’dil ) dan memang dalam masa ini telah banyak perawi-rawi yang lemah. Diantara tokoh-tokoh jarh wa at-Ta’dil adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H.),Ma’mar, Hisyam ad-Dastaway (154 H.), Al-Auza’y (156 H.), Sufyan ats Tsaury (161 H.), Ibnu Majisun (213 H.), Al- Laits ibn Sa’ad (175 H.), Ibnu al- Mubarak (181 H.), Husyaim ibn Basyar, Abu Ishaq (185 H.), Al- Muafi ibn Imran al- Mushily (185 H.), Basyir ibn al-Mufadhdhal (197 H.), Waki’ ibn al- Jarrah (194 H.), Yahya ibn Said al-Qaththan (186 H.), Abd ar-Rahman ibn Mahdi (198 H.), Yazid ibn Harun (206 H.), Abu Daud ath Thayalisy ( 201 H.), Abd ar-Razzaq ibn Humam (206 H.), Abu Ashim adh-Dhahhak (212 H.).

5.      Periode kelima (masa pentashihan dan penyusunan kaidah-kaidahnya)
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.[13]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk pengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.         Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.        Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist
U1ama hadist yang mula-mula menyaringdan  membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan  Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.

6.      Periode Keenam ( Masa Tahdzib, Istidrak, Istikhraj, Menyusun jawami’, zawa’id, dan athraf)
Periode ini disebut Masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan. Periode keenam ini, terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah
a.      Kegiatan Ulama Hadits  Pada Periode lni
Walaupun pada periode ini daulah Islamiyah mulai melemah dan akhimya runtuh, tetapi kegiatan Ulama dalam melestarikan Hadits tidaklah terlalu terpengaruh. Sebab kenyataannya, tidak sedikit Ulama yang tetap menekuni dan bersungguh-sungguh memelihara dan mengembangkan pembinaan Hadits, sekalipun caranya tidak lagi sama dengan Ulama pada periode sebelumnya. Sebagaimana telah dibahas, pada abad III hampir seluruh Hadits Nabi telah berhasil didewankan (dibukukan) oleh para Ulama. Oleh karena itu, pada abad IV tinggal sedikit lagi Hadits-hadits Shahih yang masih dikumpulkan clan dibukukan. Kitab-kitab Hadits yang telah berhasil disusun pada abad IV dan dari padanya dapat dijumpai Hadits-hadits Shahih di luar dari kitab-kitab Hadits abad III, antara lain adalah:
  1. As-Shahih, susunan lbnu Khuzaimah (313 H).
  2. Al-Anwa’wat-Taqsim, susunan Ibnu Hibban (354 H).
  3. Al-Musnad, susunan Abu Awanah (316 H).
  4. Al-Muntaqa, susunan lIbnu Jarud.
  5. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisy.
Dengan melihat bahwa para Ulama Hadits pada abad IV tidak lagi banyak yang mengadakan perlawatan ke daerah-daerah seperti yang telah dilakukan oleh Ulama pada abad III, maka Adz-Dzahaby menjadi penghujung tahun 300 H sebagai batas yang memisahkan antara masa Ulama Mutagaddimin dengan Ulama Muta’akhkhirin.
b.      Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits Pada Periode ini
Ulama Hadits pada periode ini, selain menyusun kitab-kitab Hadits seperti yang telah ditempuh oleh Ulama pada periode sebelumnya, misalnya dengan sistem mushannaf dan musnad, juga menyusun kitab dengan sistem baru. Yakni yang dikenal dengan istilah:
  1. Kitab Athraf
Yakni kitab Hadits yang hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan-matan Hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab Hadits yang dikutip matannya itu maupun dari kitab-kitab lainnya. Misalnya
  • Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim Ad-Dimasyqy (wafat th. 400 H)
  • Athrafus Shahihaini, susunan Abu Muhammad (halaf Ibnu Muhammad Al-Wasithy (401 H)
  • Athrafus Sunanil Arba’ah, susunan Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy (571 H)
  • Athraful Kutubis Sittah, susunan Muhammad Ibnu T’hahir Al-Maqdisy (507 H)
2.      Kitab Mustakhraj
Yakni kitab Hadits yang memuat matan-matan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya:
  • Mustakhraj Shahih Bukhari, susunan Juriany
  • Mustakhraj Shahih Muslim, susunan Abu Awanah (316 H)
  • Mustakhraj Bukhari-Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan AsSirazy (388 H).
3.      Kitab Mustadrak
Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. Misalnya:
  • Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321- 405 H)
  • Al-Ilzamat, susunan Ad-Daraquthny (306 – 385 H)
4.      Kitab Jami’
Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Misalnya:
  • Yang menghimpun Hadits-hadits Shahih Bukhari dan Muslim:
-          Al-Jami’  bainas Shahihaini, susunan Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad) – (414 H).
-          Al-Jamii bainas Shahihaini, susunan Muhammad Ibnu Nashr Al- Humaidy (488 H).
-          Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Al-Baghawy (516 H).

7.      Periode Ke-tujuh (Mulai Pertengahan Abad Vll Sampai Sekarang)
Periode ini disebut Masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan
v  Kegiatan Ulama Hadits Pada Periode lni
Dengan latar belakang keadaan politik dunia Islam seperti dikemukakan di atas, maka praktis kegiatan periwayatan Hadits yang pada masa sebelumnya banyak dilakukan secara syifahiyah (penyampaian dan penerimaan riwayat secara lisan; jadi secara hafalan), sudah tidak lagi banyak dijumpai. Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat/Hadits banyak dilakukan dengan jalan ijazah dan mukatabah. (Yang dimaksud dengan ijazah dalam hal ini adalah pemberian izin dari seorang syaikh (guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadits yang berasal dari padanya, baik yang tertulis ataupun yang hafalan, beserta kekurangan kekurangan dari riwayat tersebut. Yang dimaksud dengan mukatabah adalah pemberian catatan Hadits dari seorang syaikh/guru kepada orang yang ada di dekatnya atau orang yang jauh, baik catatan itu ditulis sendiri , oleh guru tersebut ataupun dengan cara disuruh orang lain untuk menu-liskannya).
Hanya sedikit sekali Ulama Hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan . Hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempuma seperti yang telah dilakukan oleh Ulama mutaqaddimin. Kegiatan yang terbanyak yang dilakukan oleh para Ulama pada periode ini, pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab Hadits yang telah ada, kemudian mengembangkannya, antara lain dengan penyusunan kitabkitab baru yang selain dalam bentuk seperti yang telah ditempuh oleh Ulama sebelumnya (seperti kitab Jami’, mustakhraj, mustadrak clan athraf),
v  Macam-Macam Kitab Hadits  Pada Periode Ini
Kitab-kitab Hadits yang telah disusun pada periode ini, di antaranya yang berupa:
-          Kitab jami’ antara lain:
  • Jami’ul Masanid was Sunan, oleh Ibnu Katsir (774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari Hadits-hadits yang terdapat di kitabnya Bukhari, Muslim, Abu Daud At Turmudzi, An-Nasa’iy, lbnu Majah, Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la dan At-Thabary.
  • Jami’ul Jawami’, oleh As-Suyuthy (911 H). Kitab ini menghimpun Hadits- hadits dari Al-Kutubus Sittah.
  • At-Taj Al-Jami’lil Ushul li Ahaditsir Rasul, oleh Syekh ManshurAli Nashif (Ulama’Al-Azhaf Mesir; diterbitkan pertama kali tahun 1351 H/1932 M). Zadul Muslim fi mat Tafaqa ‘alaihil Bukhari wa Muslim, oleh Habibuilah As-Syanqithy. Kitab ini memuat 1200 Hadits yang disepakati Bukhari Muslim, disusun secara alfabetis.
  • Al-Lu’lu’u wal Marjan, oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab yang menghimpun Hadits-hadits Bukhari-Muslim[14]
B.     PEMALSUAN HADIS DAN UPAYA PENYELAMATAN HADIS NABI
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
1.      Orang yang kurang akal.
2.      Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3.      Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4.      Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.[15]
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :

1.      Kitab تذكرت الموضوعات  oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H)
2.       Kitab  الموضوعات الكبرى  oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)

Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu.
 Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:

لاتسبوا الديك فإنه صديقي

Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "

2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
الباذنجان شفاء من كل داء
Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "

3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:

لاَيدخل ولد الزنا الجنة
Artinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "

4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :

ولاتزروازرة وزرأخرى
Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)

 Ulama’ juga menetapkan langkah-langkah dalam mengkritik  jalan-jaln menerima hadis sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkan diri segala lumpur yang mengotorinya ialah mengisnadkan hadis, memeriksa benar tidaknya hadis yang diterima kepada para ahli, mengkritik para rawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajata hadis, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu’.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,  bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi. Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi




















DAFTAR PUSTAKA

Ali ,Rosnawati. 1997. Pengantar Ilmu Hadits. Kuala lumpur: Ilham Abati Enterprise.
Amin ,Ahmad, Fajrul Islam. 1968.Terj. Zaini Dahlan. Jakarta: Bulan Bintang,
Ash-shiddieqy, M. Hasbi. 2000. sejarah & pengantar hadis. Jakarta:bulan bintang.
Azami ,Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadits. Bandung: Pustaka Hidayah.
_______________________. 2000. Studes in Early Hadith Literature. Terj. Ali Mustafa Ya'qub. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ismail ,Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung : Ankasa.
Soetari ,Endang. 2005. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka.


[1] Muhammad Mustafa Azami, 2000, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus,  Hlm. 103
[2]Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
[3]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. hlm. 121
[4]Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
[5] M. Hasbi Ash-shiddieqy, 2000, sejarah & pengantar hadis, Jakarta:bulan bintang, hlm. 24
[6] M. hasbi ash-shiddieqy, op.cit., hlm. 31
[7] Ibied., hlm. 34
[8] Endang Soetari, 2005,  Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka, hlm. 41
9Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 38
[10]Ibid.,  hlm. 39
[11] Ibied., hlm. 44
[12] Ash-shiddieqy, ibied., hlm. 46-49
[13] Endang Soetari, 2005, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka,  hlm. 98.
[14] Ash-sjiddieqy, ibied., 62-68
[15] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Ankasa, 1991), hlm. 109-110