BATAL TIDAKNYA WUDHU
SEBAB DISENTUH WANITA SAAT THAWAF DAN IHRAM
Diajukan untuk memenuhi salah tugas
Ujian akhir semester
Mata kuliah fiqih ibadah
Dosen pengampu : H. Ahmad Hamdani,
Lc. M.A
Disusun
Oleh :
Adib : 1310110142
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH
/ PAI
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Wudhu adalah salah satu syarat yang harus di penuhi sebelum
melakukan shalat. Bukan cuma shalat yang harus di dahului dengan wudhu, tapi
ada ibadah-ibadah lain yang harus di dahului dengan wudhu sebelum melakukan
ibadah itu. Misal thawaf, ihram, membaca Al-Quran dan sebagainya. Kadang ada
persoalan yang muncul batal tidaknya wudhu ketika kulit laki-laki bersentuhan
dengan kulit perempuan, apalagi ketika melakukan thawaf, pada saat ini sangat
sulit. Karena jumlah umuslim yang melakukan Ibadah Haji sangat banyak, sering
kali terjadi bersentuhan antara kuli laki-laki dan perempuan. Sehingga masalah
ini akan menimbulkan prokontra dalam pemecahan masalah ini. Sehingga dalam
makalah ini penulis akan membhas tentang batal tidaknya wudhu jika bersentuhan
kulit laki-laki dan perempuan ketika melakukan thawaf dan ihram.
B.
Rumusan masalah
1. Pro kontra batal tidaknya wudhu sebab disentuh wanita saat thawaf
dan ihram?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pro kontra
batal tidaknya wudhu sebab disentuh wanita saat Thawaf dan Ihram?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prokontra wudhu
saat thawaf dan ihram menurut pandangan madzab
Dalam
Mazhab imam Syafi’i bahwa bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan
mahrom dapat membatalkan wudhu’ sementara salah satu syarat sah thowaf adalah
harus suci dari hadas besar dan hadas kecil artinya wajib punya wudhu’.[1]
Kalau
kita melakukan thowaf rasanya sangat sulit untuk tidak bersentuhan kulit dengan
perempuan apalagi perempuan dari turki,india,pakistan dan negara lain yang mana
mereka thowafnya dengan terbuka tangan dan kaki,jadi seringkali terjadi
senggolan atau persentuhan.lalu,bagaimana caranya agar thowaf kita benar-benar
sah?
Para
ulama mazhab berbeda pendapat tentang bersentuhan kulit laki-laki dan
perempuan,hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata laamastumunnisaa,
pada surat an Nisa’ ayat 43 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301],
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(QS.An-Nisa’ ayat 43)
Pendapat ulama Mazhab tentang maksud laamastumunnisaa:
A. Imam Abu
Hanifah :
Bahwa yang dimaksud kata laamastum
adalah jimak atau bersetubuh kata lamasa diartikan jimak secara majaz,karena
didukung oleh hadits A’isah R.A bahwa Rosululloh SAW pernah mencium
sebagian isterinya dan langsung sholat,maka bersentuhan kulit tidaklah
membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan
wudlu. Akan tetapi cara yang ini memiliki konsekwensi, yaitu kita harus
mengikuti cara-cara berwudlu sesuai dengan madzhab Hanafi mulai dari awal
hingga akhir.
B. Imam
Maliki dan Imam Hambali :
Sama dengan pendapat Abu Hanifah hanya jika
terdapat Syahwat maka batal jika tidak ada syahwat maka tidak batal.
C. Imam
Syafi’i :
Bahwa yang dimaksud kata Laamasa adalah
bersentuhan kulit dangan arti secara hakikat maka bersentuhan kulit laki-laki
dan perempuan dapat membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
Kalau
kita mengikuti mazhab Syafi’i maka saat thowaf kita harus hati-hati jangan
sampai terjadi senggolan atau persentuhan kulit dengan perempuan,kalau itu
terjadi maka batallah thowafnya ia harus wudhu’ kembali dan melanjutkan
thowafnya,namun menurut ulama syafi’iyah bahwa yang dapat membatalkan wudhu’
adalah jika benar-benar diyakini persentuhan itu atau yang tersentuh adalah
benar-benar perempuan bukan mahrom,jadi kalau hanya ragu-ragu saja tentang
persentuhan itu atau diragukan kulitnya apakah perempuan atau laki-laki,atau
mahrom atau bukan maka tidak batal wudhu’nya.seperti didalam kitab Fathul mu’in
pada Hasyiah Tarsyih hal 27 dijelaskan:
وَلَوْ
شَكَّ هَلْ مَا لَمِسَهُ شَعْرٌ اَوْبَشَرَةٌ لَمْ يَنْتَقِضْ كَمَا لَوْوَقَعَتْ
يَدُهُ عَلَى بَشَرَةٍ لَايَعْلَمُ أَهِيَ بَشَرَةُ رَجُلٍ اَوْ اِمْرَأَةٍ
اَوْشَكَّ هَلْ لَمِسَ مَحْرَمًا اَوْ اَجْنَبِيَةً
)ترشيح
المستفيدين ص ٢۷(
Kalau dia ragu apakah yang ia sentuh rambut/bulu atau
kulit perempuan maka wudhu’nya tidak batal,seperti halnya kalau tersenggol
tangannya pada kulit,apakah kulit laki-laki atau kulit perempuan,atau seperti
ia ragu apakah yang tersentuh itu mahrom atau orang lain(juga tidak batal )
Menurut Imam Nawawi masalah persentuhan kulit
saat thowaf termasuk perkara yang sulit dihindari(Umum balwa’) seperti ungkapan
beliau dalam kitab Idloh hal.236 :
وَمِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى فِى الطَّوَافِ
مُلَامَسَةُ النِّسَاءِ لِلزَّحْمَةِ فَيَنْبَغِى لِلرَّجُلِ اَنْ
لَايُزَامِحُهُنَّ وَلَهَا اَنْ لَا تُزَاحِمَ الرِّجَالَ خَوْفًا مِنْ
اِنْتِقَاضِ الطَّهَارَةِ .
)الايضاح
ص ٢۳٦(
Diantara perkara yang sulit dihindari pada
thowaf adalah terjadinya persentuhan dengan perempuan karena berdesakan,maka
seyogyanya bagi laki-laki tidak mendesak perempuan dan perempuan tidak mendesak
laki-laki.
Oleh
karenanya kita harus extra hati-hati jangan sampai wudhu kita batal,sebab
jika wudhu kita batal dan kita tidak wudhu’ lagi maka batallah thowaf
kita,jelas ini bahaya besar.apalagi jika thowaf umroh atau thowaf ifadloh.
Alternatif
kedua adalah kita intiqol mazhab(berpindah mazhab) kemazhab Hanafi atau
Maliki,namun dengan syarat cara wudhu’nyapun harus mengikuti cara mereka,sebab
kalau tidakوmaka akan terjadi talfieq dalam
mazhab yaitu menggabungkan dua pendapat imam dengan memilih yang
ringan-ringan sehinga kedua imam tersebut tidak menshahkan sholat atau thowaf
kita,sebagai contoh,saat berwudhu ia bermazhab Syafi’i yaitu menyapuh sebagian
kepala,tapi dalam pembatalan ia ikut Maliki yang mengatakan tidak batal wudhu’
dengan persentuhan,maka kedua imam (Syafi’i dan Malik) tidak menshahkan sholat
atau thowaf kita.seperti dijelaskan oleh Syeikh muh.Amin Kurdi didalam kitab
Tanwirul Qulub hal. 396
فَلَوْ قَلَّدَ شَافِعِيٌّ اَلْاِمَامَ مَالِكًا
فِى عَدَمِ نَقْضِ الْوُضُوْءِ بِاللَّمْسِ مِنْ غَيْرِ قَصْدِ اللَّذَّةِ وَلاَ
وُجُوْدِهَا لَمْ يَصِحَّ تَقْلِيْدُهُ حَتَّى يَعْرِفَ مَا اعْتَبَرَهُ
اْلِامَامُ مَالِكٌ فِى الْوُضُوْءِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ كَمَسْحِ كُلِّ الرَّأْسِ
وَالتَّدْلِيْكِ وَالْمُوَالَاةِ لِيَأْتِيَ بِهَا فِى وُضُوْئِهِ ثُمَّ
يُقَلِّدُهُ فِى عَدَمِ النَّقْضِ.
)تنويرالقلوب
ص٣۹٦(
Kalau orang yang bermazhab Syafi’i taqlid
kepada imam Malik dalam hal tidak batal wudhu’ dengan bersentuhan kulit
tanpa kelezatan maka tidak sah taqlidnya sehingga ia mengetahui apa-apa yang
diwajibkan oleh imam Malik seperti menyapuh seluruh kepala,menggosok-gosok
anggota dan muwalat agar ia lakukan dalam wudlunya, lalu ia taqlid pada imam
Malik dalam hal tidak batal wudhu’ dengan bersentuhan.
Didalam kitab Fathul Mu’in hal.402 Syeikh
Zainudin Malibary berkomentar :
وَكَذَالِكَ اِذَا تَوَضَّأَ وَمَسَّ بِلاَ
شَهْوَةٍ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَلمَ ْيَدْلُكْ تَقْلِيْدًا
لِلشَّافِعِيِّ ثُمَّ صَلَّى فَصَلاَتُةُ بَاطِلَةٌ لِإِتِّفَاقِ اْلاِمَامَيْنِ
عَلَى بُطْلاَنِ طَهَارَتِهِ
)فتح
المعين ٤۰٢(
Demikian pula apabila seseorang berwudhu’ lalu
ia bersentuhan tanpa syahwat karena taqlid pada imam Malik tapi ia juga tidak
menggosok-gosok anggota karena taqlid pada imam Syafi’i kemudian ia sholat maka
sholatnya batal karena kesepakatan dua imam(Malik dan Syafi’i) atas batal
persuciannya.
Ada dua pendapat menurut as-syafii tentang batalnya wudhu bagi
orang yang di sentuh perempuan lain yang di permasalahkan: manakah yang paling
utama untuk kita ikuti? Mengikuti pendapat kedua dari imam syafi’I itu atau
pindah madzhab lain? Dan bagaimana hukumnya pindah madzab lain pada waktu itu?[2]
Jawaban:
Mana yang lebih utama, ada dua pendapat: pertama, boleh memilih
antara qobul tsani dan pindah madzab lain. Kedua, lebih baik taqlid pada qoul
tsani. Sedangkan pindah madzab pada waktu tertentu adalah boleh.
Dasar pengambilan hukum:
1.
Hasyiyah ibnu
Hajar Ala al-Idlah Fi manasiki al-hajj al-Nawawi, Hlm.236
وفى
الموس قولان للشافعى رحمه الله. اصحهما عند اكثر اصحا به انه ينتقض وضوءه وهو نصه
فى اكثر كتبهه واثانى لاينتقض وضوءه واختاره جماعة قليلة فى اصحابه والمحتار
الاول.
Artinya:
dalam masalah seseorang yang tersentuh dengan wanita lain yang bukan mahramnya,
menurut imam Syafi’I ada dua paendapat. Yang ashoh dari kedua pendaapat menurut
kebanyakan santrinya (sahabatnya) hal itu merusakkan (membatalkan) wudhunya.
Pendapat itu merupakan nash dari Imam Syafi’I dalam kebanyakan kitabnya.
Sedangkan pendapat kedua tidak membatalkan wudhunya dan pendapat ini dipilih
oleh kelompok kecil dari santrinya. Yang muhtar (terpilih) adalah pendapat yang
pertama.
2.
Bughyatul
al-Mustarsyidin, hlm.9
يجوز
تقليد ملتزم مذهب اشافعى غير مذهبه او المرجوح للضرورة اى المشقة التى لا تحتمل
عادة وفى سبعة كتب مفيدة ص مانصه: واعلم ان الاصح من كلام المتاءخرين كا لشخ ابن
حجر وغيره انه يجوز الانتقال من مذهب الى مذذهب من المذاهب المدونة ولو لمجرد
التشهى سواء انتقل دواما اوبعض الحادثات.
Artinya;
boleh taqlid (mengikuti) bagi yang tetap yang tetap madzab Imam Syafi’I pada
selain madzabnya, atau pendapat yang marjuh karena dhorurot. Artinya masyakot
(sulit) yang tidak menjadi kebiasaan. Dalam kitabsab’atul kutubi almufidah di
jelaskan: ketahuilah sesungguhnya yang ashoh menurut pendapat ulama mutaakhirin
(yang akhir-akhir) seperti syeh ibnu Hajar dan lainnya. Yaitu boleh pindah
madzab ke madzab lain dari beberapa madzab yang telah dibukukan, meskipun hanya
untuk keinginan, baik pindahnya itu untuk selamanya atau di dalam sebagai
kejadian.
3.
Sab’atul
kutubinal-Mustafidah, Hlm.160
الاصح
ان العامى مخير بين تقليد من شاء ولو مفضولا عنده مع وجود الافضل ما لم يتتبع
الرخص بل وان تتبعها على ما قاله عزالدين عبدالسلام وغيره.
Artinya:
yang ashoh, sesungguhnya orang yang awam (al-am) boleh memilih antara mengikuti
pendapat orang yang dikehendaki meskipun pendapat yang diungguli disisinya,
padahal ada yang lebih afdhol. Selama ia tidak berturut-turut mengikuti yang
ringan (rukhshoh) bahkan meskipun berturut-turut (juga boleh) menurut apa yang
dikatakan oleh imam Izzuddin bin abdi Salam dan lain-lainnya.
4.
Hamisy I’anatu
al-thalibin, juz I, Hlm.59.
وحينئذ
تقليد احد هذين القولين اولى من تقليد ابى حنيفة
Artinya: dengan demikian salah satu dari dua pendapat ini lebih
baik dari mengikuti Madzab Abi Hanifah.
5.
Al-Fawaidu al-madaniyah
al-Kubra
ان
تقليد القول او الوجه الضعيف فى المذهب بشرطه اولى من تقليد مذهب الغير لعسر
اجتماع شروطه
Artinya: mengikuti pendapat atu wajah dhoif didalam madzabnya
dengan syarat-syaratnya, itu lebih utama dari pada mengikuti madzab-madzab
lain, karena sulitnyabmengumpulkan syarat-syaratnya.
6.
Jam’u
ar-Risalatain Fi Ta’addudi al-Jum’atain, Hlm. 14
القديم
ايضا ان اقلهم اثنا عشر اه ثم ان تقليد القول القديم اولى من تقليد المخالف لانه
يحتا ج ان يراعى مذهب المقلد بفتح اللام فى الوضوء والغسل وبقية الشروط, وهذا يعسر
على غير العارف فالتمسك باقوال الامام الضعيفة اولى من الحروج الى المذهب الاخر
Artinya;
taqlid (mengikuti) pendapat qoul qadim itu lebih baik dari pada mengikuti
madzab yang berbeda dengan (madzabnya). Karena hal itumemerlukan menjaga madzab
yang diikutinya. Dalam wudhu, mandi dan semua syarat-syarat. Hal ini sulit bagi
selain yang mengetahui. Maka berpegang teguh kepada pendapat-pendapat imannya
yang dhoif itu lebih baik dari pada keluar menuju madzab lain.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Para ulama
mazhab berbeda pendapat tentang bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan,hal
ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata laamastumunnisaa,
pada surat an Nisa’ ayat 42 yang berbunyi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301],
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(QS.An-Nisa’:43)
Pendapat ulama Mazhab tentang maksud laamastumunnisaa:
A. Imam Abu
Hanifah :
Bahwa yang dimaksud kata laamastum
adalah jimak atau bersetubuh kata lamasa diartikan jimak secara majaz,karena
didukung oleh hadits A’isah R.A bahwa Rosululloh SAW pernah mencium
sebagian isterinya dan langsung sholat,maka bersentuhan kulit tidaklah membatalkan
wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
B. Imam
Maliki dan Imam Hambali :
Sama dengan pendapat Abu Hanifah hanya jika
terdapat Syahwat maka batal jika tidak ada syahwat maka tidak batal.
C. Imam
Syafi’i :
Bahwa yang dimaksud kata Laamasa adalah bersentuhan kulit
dangan arti secara hakikat maka bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan
dapat membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
B.
KRITIK DAN
SARAN
Demikianlah makalah yang telah saya susun. Saya sadar dan tahu
bahwa makalah saya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu saya
sangat mengharapkan sumbangan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kami semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Mifahul
Akhyar Abd. Goni, NU menjawab problematika umat, pengurus wilayah NU:
Jawa Timur, 2010
Moh.Rifa’i.
1978. Ilmu Fiqih islam lengkap, Semarang: PT karya Toha Putra.
http://himmatulmujahidin.wordpress.com/bimbingan-haji-umroh-himmatul-hujjaj/
QS. An-Nisa’: ayat 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar