Jumat, 20 Maret 2015

BATAL TIDAKNYA WUDHU SEBAB DISENTUH WANITA SAAT THAWAF DAN IHRAM



BATAL TIDAKNYA WUDHU SEBAB DISENTUH WANITA SAAT THAWAF DAN IHRAM

Diajukan untuk memenuhi salah tugas Ujian akhir semester
Mata kuliah fiqih ibadah
Dosen pengampu : H. Ahmad Hamdani, Lc. M.A




Disusun Oleh :
Adib             : 1310110142


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PAI
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Wudhu adalah salah satu syarat yang harus di penuhi sebelum melakukan shalat. Bukan cuma shalat yang harus di dahului dengan wudhu, tapi ada ibadah-ibadah lain yang harus di dahului dengan wudhu sebelum melakukan ibadah itu. Misal thawaf, ihram, membaca Al-Quran dan sebagainya. Kadang ada persoalan yang muncul batal tidaknya wudhu ketika kulit laki-laki bersentuhan dengan kulit perempuan, apalagi ketika melakukan thawaf, pada saat ini sangat sulit. Karena jumlah umuslim yang melakukan Ibadah Haji sangat banyak, sering kali terjadi bersentuhan antara kuli laki-laki dan perempuan. Sehingga masalah ini akan menimbulkan prokontra dalam pemecahan masalah ini. Sehingga dalam makalah ini penulis akan membhas tentang batal tidaknya wudhu jika bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan ketika melakukan thawaf dan ihram.


B.     Rumusan masalah
1.      Pro kontra batal tidaknya wudhu sebab disentuh wanita saat thawaf dan ihram?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pro kontra batal tidaknya wudhu sebab disentuh wanita saat Thawaf dan Ihram?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prokontra wudhu saat thawaf dan ihram menurut pandangan madzab
Dalam Mazhab imam Syafi’i bahwa bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dapat membatalkan wudhu’ sementara salah satu syarat sah thowaf adalah harus suci dari hadas besar dan hadas kecil artinya wajib punya wudhu’.[1]
Kalau kita melakukan thowaf rasanya sangat sulit untuk tidak bersentuhan kulit dengan perempuan apalagi perempuan dari turki,india,pakistan dan negara lain yang mana mereka thowafnya dengan terbuka tangan dan kaki,jadi seringkali terjadi senggolan atau persentuhan.lalu,bagaimana caranya agar thowaf kita benar-benar sah?
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan,hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata laamastumunnisaa, pada surat an Nisa’ ayat 43 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(QS.An-Nisa’ ayat 43)

Pendapat ulama Mazhab tentang maksud laamastumunnisaa:
A.    Imam Abu Hanifah :
Bahwa yang dimaksud kata laamastum adalah jimak atau bersetubuh kata lamasa diartikan jimak secara majaz,karena didukung oleh hadits A’isah  R.A bahwa Rosululloh SAW  pernah mencium sebagian isterinya  dan langsung sholat,maka bersentuhan kulit tidaklah membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudlu.  Akan tetapi cara yang  ini memiliki konsekwensi, yaitu kita harus mengikuti cara-cara berwudlu sesuai dengan madzhab Hanafi mulai dari awal hingga akhir.
B.     Imam Maliki  dan Imam Hambali        :
Sama dengan pendapat Abu Hanifah hanya jika terdapat Syahwat maka batal jika tidak ada syahwat maka tidak batal.
C.     Imam Syafi’i          :
Bahwa yang dimaksud kata Laamasa adalah bersentuhan kulit dangan arti secara hakikat maka bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan dapat  membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
Kalau kita mengikuti mazhab Syafi’i maka saat thowaf kita harus hati-hati jangan sampai terjadi senggolan atau persentuhan kulit dengan perempuan,kalau itu terjadi maka batallah thowafnya ia harus wudhu’ kembali dan melanjutkan thowafnya,namun menurut ulama syafi’iyah bahwa yang dapat membatalkan wudhu’ adalah jika benar-benar diyakini persentuhan itu atau yang tersentuh adalah benar-benar perempuan bukan mahrom,jadi kalau hanya ragu-ragu saja tentang persentuhan itu atau diragukan kulitnya apakah perempuan atau laki-laki,atau mahrom atau bukan maka tidak batal wudhu’nya.seperti didalam kitab Fathul mu’in pada Hasyiah Tarsyih hal 27  dijelaskan:
وَلَوْ شَكَّ هَلْ مَا لَمِسَهُ شَعْرٌ اَوْبَشَرَةٌ لَمْ يَنْتَقِضْ كَمَا لَوْوَقَعَتْ يَدُهُ عَلَى بَشَرَةٍ لَايَعْلَمُ أَهِيَ بَشَرَةُ رَجُلٍ اَوْ اِمْرَأَةٍ اَوْشَكَّ هَلْ لَمِسَ مَحْرَمًا اَوْ اَجْنَبِيَةً
)ترشيح المستفيدين ص ٢۷(
 Kalau dia ragu apakah yang ia sentuh rambut/bulu atau kulit perempuan maka wudhu’nya tidak batal,seperti halnya kalau tersenggol tangannya pada kulit,apakah kulit laki-laki atau kulit perempuan,atau seperti ia ragu apakah yang tersentuh itu mahrom atau orang lain(juga tidak batal )
Menurut Imam Nawawi masalah persentuhan kulit saat thowaf termasuk perkara yang sulit dihindari(Umum balwa’) seperti ungkapan beliau dalam kitab Idloh hal.236 :
وَمِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى فِى الطَّوَافِ مُلَامَسَةُ النِّسَاءِ لِلزَّحْمَةِ فَيَنْبَغِى لِلرَّجُلِ اَنْ لَايُزَامِحُهُنَّ وَلَهَا اَنْ لَا تُزَاحِمَ الرِّجَالَ خَوْفًا مِنْ اِنْتِقَاضِ الطَّهَارَةِ .
)الايضاح ص ٢۳٦(
Diantara perkara yang sulit dihindari pada thowaf adalah terjadinya persentuhan dengan perempuan karena berdesakan,maka seyogyanya bagi laki-laki tidak mendesak perempuan dan perempuan tidak mendesak laki-laki.
Oleh karenanya  kita harus extra hati-hati jangan sampai wudhu kita batal,sebab jika wudhu kita batal dan kita tidak wudhu’ lagi maka batallah thowaf kita,jelas ini bahaya besar.apalagi jika thowaf umroh atau thowaf ifadloh.
Alternatif kedua adalah kita intiqol mazhab(berpindah mazhab) kemazhab Hanafi atau Maliki,namun dengan syarat cara wudhu’nyapun harus mengikuti cara mereka,sebab kalau tidakوmaka akan terjadi talfieq dalam mazhab yaitu menggabungkan dua pendapat imam dengan memilih  yang ringan-ringan sehinga kedua imam tersebut tidak menshahkan sholat atau thowaf kita,sebagai contoh,saat berwudhu ia bermazhab Syafi’i yaitu menyapuh sebagian kepala,tapi dalam pembatalan ia ikut Maliki yang mengatakan tidak batal wudhu’ dengan persentuhan,maka kedua imam (Syafi’i dan Malik) tidak menshahkan sholat atau thowaf kita.seperti dijelaskan oleh Syeikh muh.Amin Kurdi didalam kitab Tanwirul Qulub hal. 396
فَلَوْ قَلَّدَ شَافِعِيٌّ اَلْاِمَامَ مَالِكًا فِى عَدَمِ نَقْضِ الْوُضُوْءِ بِاللَّمْسِ مِنْ غَيْرِ قَصْدِ اللَّذَّةِ وَلاَ وُجُوْدِهَا لَمْ يَصِحَّ تَقْلِيْدُهُ حَتَّى يَعْرِفَ مَا اعْتَبَرَهُ اْلِامَامُ مَالِكٌ فِى الْوُضُوْءِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ كَمَسْحِ كُلِّ الرَّأْسِ وَالتَّدْلِيْكِ وَالْمُوَالَاةِ لِيَأْتِيَ بِهَا فِى وُضُوْئِهِ ثُمَّ يُقَلِّدُهُ فِى عَدَمِ النَّقْضِ.
)تنويرالقلوب ص٣۹٦(
Kalau orang yang bermazhab Syafi’i taqlid kepada imam Malik dalam  hal tidak batal wudhu’ dengan bersentuhan kulit tanpa kelezatan maka tidak sah taqlidnya sehingga ia mengetahui apa-apa yang diwajibkan oleh imam Malik seperti menyapuh seluruh kepala,menggosok-gosok anggota dan muwalat agar ia lakukan dalam wudlunya, lalu ia taqlid pada imam Malik dalam hal tidak batal wudhu’ dengan bersentuhan.

Didalam kitab Fathul Mu’in hal.402 Syeikh Zainudin Malibary berkomentar :
وَكَذَالِكَ اِذَا تَوَضَّأَ وَمَسَّ  بِلاَ شَهْوَةٍ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَلمَ ْيَدْلُكْ تَقْلِيْدًا لِلشَّافِعِيِّ ثُمَّ صَلَّى فَصَلاَتُةُ بَاطِلَةٌ لِإِتِّفَاقِ اْلاِمَامَيْنِ عَلَى بُطْلاَنِ طَهَارَتِهِ
)فتح المعين ٤۰٢(
Demikian pula apabila seseorang berwudhu’ lalu ia bersentuhan tanpa syahwat karena taqlid pada imam Malik tapi ia juga tidak menggosok-gosok anggota karena taqlid pada imam Syafi’i kemudian ia sholat maka sholatnya batal karena kesepakatan dua imam(Malik dan Syafi’i) atas batal persuciannya.

Ada dua pendapat menurut as-syafii tentang batalnya wudhu bagi orang yang di sentuh perempuan lain yang di permasalahkan: manakah yang paling utama untuk kita ikuti? Mengikuti pendapat kedua dari imam syafi’I itu atau pindah madzhab lain? Dan bagaimana hukumnya pindah madzab lain pada waktu itu?[2]
Jawaban:
Mana yang lebih utama, ada dua pendapat: pertama, boleh memilih antara qobul tsani dan pindah madzab lain. Kedua, lebih baik taqlid pada qoul tsani. Sedangkan pindah madzab pada waktu tertentu adalah boleh.
Dasar pengambilan hukum:
1.                 Hasyiyah ibnu Hajar Ala al-Idlah Fi manasiki al-hajj al-Nawawi, Hlm.236
وفى الموس قولان للشافعى رحمه الله. اصحهما عند اكثر اصحا به انه ينتقض وضوءه وهو نصه فى اكثر كتبهه واثانى لاينتقض وضوءه واختاره جماعة قليلة فى اصحابه والمحتار الاول.
Artinya: dalam masalah seseorang yang tersentuh dengan wanita lain yang bukan mahramnya, menurut imam Syafi’I ada dua paendapat. Yang ashoh dari kedua pendaapat menurut kebanyakan santrinya (sahabatnya) hal itu merusakkan (membatalkan) wudhunya. Pendapat itu merupakan nash dari Imam Syafi’I dalam kebanyakan kitabnya. Sedangkan pendapat kedua tidak membatalkan wudhunya dan pendapat ini dipilih oleh kelompok kecil dari santrinya. Yang muhtar (terpilih) adalah pendapat yang pertama.

2.                 Bughyatul al-Mustarsyidin, hlm.9
يجوز تقليد ملتزم مذهب اشافعى غير مذهبه او المرجوح للضرورة اى المشقة التى لا تحتمل عادة وفى سبعة كتب مفيدة ص مانصه: واعلم ان الاصح من كلام المتاءخرين كا لشخ ابن حجر وغيره انه يجوز الانتقال من مذهب الى مذذهب من المذاهب المدونة ولو لمجرد التشهى سواء انتقل دواما اوبعض الحادثات.
Artinya; boleh taqlid (mengikuti) bagi yang tetap yang tetap madzab Imam Syafi’I pada selain madzabnya, atau pendapat yang marjuh karena dhorurot. Artinya masyakot (sulit) yang tidak menjadi kebiasaan. Dalam kitabsab’atul kutubi almufidah di jelaskan: ketahuilah sesungguhnya yang ashoh menurut pendapat ulama mutaakhirin (yang akhir-akhir) seperti syeh ibnu Hajar dan lainnya. Yaitu boleh pindah madzab ke madzab lain dari beberapa madzab yang telah dibukukan, meskipun hanya untuk keinginan, baik pindahnya itu untuk selamanya atau di dalam sebagai kejadian.

3.                 Sab’atul kutubinal-Mustafidah, Hlm.160
الاصح ان العامى مخير بين تقليد من شاء ولو مفضولا عنده مع وجود الافضل ما لم يتتبع الرخص بل وان تتبعها على ما قاله عزالدين عبدالسلام وغيره.
Artinya: yang ashoh, sesungguhnya orang yang awam (al-am) boleh memilih antara mengikuti pendapat orang yang dikehendaki meskipun pendapat yang diungguli disisinya, padahal ada yang lebih afdhol. Selama ia tidak berturut-turut mengikuti yang ringan (rukhshoh) bahkan meskipun berturut-turut (juga boleh) menurut apa yang dikatakan oleh imam Izzuddin bin abdi Salam dan lain-lainnya.

4.                 Hamisy I’anatu al-thalibin, juz I, Hlm.59.
وحينئذ تقليد احد هذين القولين اولى من تقليد ابى حنيفة
Artinya: dengan demikian salah satu dari dua pendapat ini lebih baik dari mengikuti Madzab Abi Hanifah.
5.                 Al-Fawaidu al-madaniyah al-Kubra
ان تقليد القول او الوجه الضعيف فى المذهب بشرطه اولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه
Artinya: mengikuti pendapat atu wajah dhoif didalam madzabnya dengan syarat-syaratnya, itu lebih utama dari pada mengikuti madzab-madzab lain, karena sulitnyabmengumpulkan syarat-syaratnya.
6.                 Jam’u ar-Risalatain Fi Ta’addudi al-Jum’atain, Hlm. 14
القديم ايضا ان اقلهم اثنا عشر اه ثم ان تقليد القول القديم اولى من تقليد المخالف لانه يحتا ج ان يراعى مذهب المقلد بفتح اللام فى الوضوء والغسل وبقية الشروط, وهذا يعسر على غير العارف فالتمسك باقوال الامام الضعيفة اولى من الحروج الى المذهب الاخر
Artinya; taqlid (mengikuti) pendapat qoul qadim itu lebih baik dari pada mengikuti madzab yang berbeda dengan (madzabnya). Karena hal itumemerlukan menjaga madzab yang diikutinya. Dalam wudhu, mandi dan semua syarat-syarat. Hal ini sulit bagi selain yang mengetahui. Maka berpegang teguh kepada pendapat-pendapat imannya yang dhoif itu lebih baik dari pada keluar menuju madzab lain.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan,hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata laamastumunnisaa, pada surat an Nisa’ ayat 42 yang berbunyi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(QS.An-Nisa’:43)

Pendapat ulama Mazhab tentang maksud laamastumunnisaa:
A.    Imam Abu Hanifah :
Bahwa yang dimaksud kata laamastum adalah jimak atau bersetubuh kata lamasa diartikan jimak secara majaz,karena didukung oleh hadits A’isah  R.A bahwa Rosululloh SAW  pernah mencium sebagian isterinya  dan langsung sholat,maka bersentuhan kulit tidaklah membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.
B.     Imam Maliki  dan Imam Hambali        :
Sama dengan pendapat Abu Hanifah hanya jika terdapat Syahwat maka batal jika tidak ada syahwat maka tidak batal.
C.     Imam Syafi’i          :
Bahwa yang dimaksud kata Laamasa adalah bersentuhan kulit dangan arti secara hakikat maka bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan dapat  membatalkan wudhu’ baik ada syahwat atau tidak.




B.     KRITIK DAN SARAN

Demikianlah makalah yang telah saya susun. Saya sadar dan tahu bahwa makalah saya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu saya sangat mengharapkan sumbangan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kami semua. Amin.








DAFTAR PUSTAKA

Mifahul Akhyar Abd. Goni, NU menjawab problematika umat, pengurus wilayah NU: Jawa Timur, 2010
Moh.Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqih islam lengkap, Semarang: PT karya Toha Putra.
http://himmatulmujahidin.wordpress.com/bimbingan-haji-umroh-himmatul-hujjaj/
QS. An-Nisa’: ayat 43



[1] Drs. H. Moh. Rifa’i. ilmu fiqih islam lengkap, semarang: PT karya toha putra, 1978. Hlm.142.
[2] Mifahul Akhyar Abd. Goni, NU menjawab problematika umat, pengurus wilayah NU: Jawa Timur, 2010 hlm 81-84.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar