Jumat, 13 Maret 2015

SHOLAT DAN PUASANYA ORANG DI DAERAH TAK NORMAL

SHOLAT DAN PUASANYA ORANG DI DAERAH TAK NORMAL

Disusun guna memenuhi tugas UAS
 Mata kuliah : Fiqih
Dosen pengampu : Hamdani Lc, MA



Disusun Oleh :
                                    MUHAMMAD YUSUF                    : 1310110127
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PAI
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Menurut bahasa shalat artinya adalah berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada.
Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara terminologi, adalah menahan diri pada siang hari dari berbuka dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Ibadah shalat merupakan ibadah yang tidak dapat ditinggalkan walau dalam keadaan apapun. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti puasa, zakat dan haji. Jika seseorang sedang sakit pada bulan ramadhan dan tidak mampu untuk berpuasa, maka ia boleh tidak berpuasa dan harus menggantinya pada hari lain. Orang yang tidak mampu membayar zakat ia tidak wajib membayar zakat. Demikian pula halnya dengan ibadah haji, bila seseorang tidak mampu maka tidak ada kewjiban baginya.
Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim selama masih memiliki akal dan ingatannya masih normal. Kewajiban tersebut harus tetap dilakukan tepat pada waktunya. Meskipun di tempat yang tak normal sekalipun ,baik situasi maupun kondisinya seperti di daerah kutub dan diluar angkasa bagi astronot, Halangan untuk tidak mengerjakan shalat hanya ada tiga macam, yaitu hilang akal seperti gila atau tidak sadar, karena tidur dan lupa (namun demikian ada kewajiban mengqadha di waktu lain).
Betapa pentingnya ibadah shalat ini, Rasulullah pernah bersabda :
“Urusan yang memisahkan antara kita (orang-orang Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Oleh sebab itu siapa yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah menjadi kafir.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam Islam, shalat memiliki kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh ibadah lainnya. Sebab, ia merupakan tiang agama, tidak akan tegak agama ini kecuali dengannya. Rasulullah SAW telah bersabda:
الَصَلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ, فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْهَدَمَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ
“Sholat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikannya maka sungguh ia telah mendirikan agama (Islam) itu dan barangsiapa merobohkannya maka sungguh ia telah merobohkan agama (Islam) itu.”

B.     Rumusan masalah
Bagaimana solat dan puasanya orang di daerah tak normal (situasi & kondisi) ?
C.    Tujuan
Mengetahui cara solat dan puasanya orang di daerah tak normal (situasi & kondisi)










BAB II
PEMBAHASAN
Puasa dan Solatnya orang di daerah tak normal
Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim selama masih memiliki akal dan ingatannya masih normal. Kewajiban tersebut harus tetap dilakukan tepat pada waktunya. Meskipun di tempat yang tak normal sekalipun ,baik situasi maupun kondisinya seperti di daerah kutub dan diluar angkasa bagi astronot, Karena Islam tdk hanya utk penduduk yg ada di sekitar kathulistiwa dgn musim yg hampir sama sepanjang tahun, tapi Islam utk semua umat di dunia ini.
Halangan untuk tidak mengerjakan shalat hanya ada tiga macam, yaitu hilang akal seperti gila atau tidak sadar, karena tidur dan lupa (namun demikian ada kewajiban mengqadha di waktu lain).
Buat orang yg tinggal di kutub utara atau selatan, secara geografis mereka akan mengalami beberapa ‘keajaiban’ alam, seperti ada terang terus sepanjang musim panas & gelap terus sepanjang musim dingin,. Terutama terkait dgn waktu terbit & terbenam matahari. Padahal, waktu-waktu shalat dan puasa sangat ditentukan dgn terbit & terbenamnya matahari.
A.    Kemungkinan Pertama
Ada wilayah yg pd bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pd bulan-bulan tertentu akan mengalami sebaliknya, yaitu mengalami malam selama 24 jam dalam sehari.
Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa -dan juga shalat- disesuaikan dgn jadwal puasa & shalat wilayah yg terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang & malam setiap harinya.

B.     Kemungkinan Kedua
Ada wilayah yg pd bulan teretntu tdk mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tdk bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dgn mega merah saat shubuh.
Dalam kondisi ini, maka yg dilakukan adl menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dgn waktu di wilayah lain yg terdekat yg masih mengalami hilannya mega merah maghrib. Begitu juga waktu utk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dgn wilayah yg terdekat yg masih mengalami hilangnya mega merah maghrib & masih bisa membedakan antara 2 mega itu.
C.    Kemungkinan Ketiga
Ada wilayah yg masih mengalami pergantian malam & siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya.
Dalam kondisi ini, maka waktu puasa & juga shalat tetap sesuai dgn aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pd saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
 Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.(QS.AL-Baqoroh :187)
            Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan & membawa kpd penyakit dimana hal itu dikuatkan juga dgn keterangan dokter yg amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain.
Dalam hal ini berlaku hukum orang yg tak mampu atau orang yg sakit, dimana Allah memberikan rukhshah atau keringan kpd mereka.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS.Al-Baqoroh : 185)
Penjelasan seperti ini bisa kita dpt dari fatwa Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pd jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H betepatan dgn tanggal 4 Pebruari 1982 M.
Selain itu kita juga bisa merujuk kpd ketetapan dari Hai`atu Kibaril Ulama di Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pd tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H.
Namun ada juga pendapat yg tdk setuju dgn apa yg telah ditetapkan oleh 2 lembaga fiqih dunia itu. Di antaranya apa yg dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqa’ rahimahullah.
Alasannya, apabila perbedaan siang & malam itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan?
Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit?
Bagi kita yang tinggal di indonesia, puasa kita jalani selama 13-14 jam. Akan tetapi ada negara yang siangnya 21 jam,  misalnya negara-negara di Eropa bahkan ada juga yang siangnya 6 bulan yaitu di daerah kutub. Bagaiamana menjalankan puasa di daerah seperti ini?
1.      Puasa di daerah yang siangnya 21 jam
Mereka tetap berpuasa selama 21 jam yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari sebagaimana dalil dari Al-Quran dan hadits bahwa puasa itu mulai sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Allah Ta’ala berfirman,
 ...وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر .....
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Dan Sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
إذا أقبل الليل من ههنا، وأدبر النهار من ههنا، وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Jika tela datang malam dari sini kemudian siang telah berlalu dan matahari sudah tenggelam, maka (ini waktu) orang berpuasa berbuka.”
Apakah berat puasa 21 jam? insyaAllah tidak, masyarakat di Eropa dan begitu juga orang indonesia yang sedang belajar atau sedang safar ke sana tidak merasakan beratnya puasa. Dengan fokus ke aktifitas sehari-hari insyaAllah tidak akan memberatkan.
Allah Ta’ala berfirman,
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sesuai kemampuannya.” (Al-Baqarah: 286).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj :78)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
من عندهم ليل ونهار في ظرف أربع وعشرين ساعة فإنهم يصومون نهاره سواء كان قصيرا أو طويلا ويكفيهم ذلك والحمد لله ولو كان النهار قصيرا.
barangsiapa yang di tempat mereka jarak siang dan malam sepanjang 21 jam maka mereka berpuasa sepanjang siang. Baik pendek maupun panjang. Hal ini mencukupi mereka (mereka mampu). Alhamdulillah jika waktu siangnya pendek.”[[1]]
Syaikh Muhammad bin Shalih AL-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hal ini,
فهذه النصوص من الكتاب والسنة تدل على أنه مادام هناك ليل ونهار فالواجب الإمساك في النهار طال أم قصر،
“Inilah dalil dari AL-Quran dan Sunnah yang menunjukkan bahwa selama masih ada perputaran siang dan malam maka wajib menahan diri (dari pembatal puasa) pada siang hari baik panjang maupun pendek. “ [[2]]
2.      Jika siang sepanjang 6 bulan
Pada daerah kutub bisa jadi siang terus atau malam terus. Maka cara berpuasanya adalah dengan memperkirakan waktu siang dan malam, dan memperkirakan waktu-waktu shalat.
Terdapat hadits ketika Dajjal turun dekat hari kiamat. Bahwa nantinya satu hari seperti setahun, satu hari lagi bisa seperti sebulan. Maka cara shalat di waktu itu adalah dengan memperkirakannya.
Para Sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya mengenai hal ini,
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا لَبْثُهُ فِى الأَرْضِ قَالَ « أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِى كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلاَةُ يَوْمٍ قَالَ « لاَ اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ
“Wahai Rasulullah, berapa lama Dajjal berada di muka bumi?” Beliau bersabda, “Selama empat puluh hari, di mana satu harinya seperti setahun, satu harinya lagi seperti sebulan, satu harinya lagi seperti satu Jum’at (satu minggu), satu hari lagi seperti hari-hari yang kalian rasakan.”  Mereka pun bertanya kembali pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, jika satu hari bisa sama seperti setahun, apakah kami cukup shalat satu hari saja?” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab. “Tidak. Namun kalian harus memperkirakan (waktunya)”,[[3]]


Syaikh Muhammad bin Shalih AL-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
ما لو كان في مكان لا يتعاقب فيه الليل والنهار في خلال أربع وعشرين ساعة، مثل أن يكون نهاره يومين، أو ثلاثة، أو أكثر، وليله كذلك فهنا يقدر له قدره
“Adapun pada tempat yang tidak ada pergantian siang dan malam selama 24 jam. Misalnya siangnya sepanjang dua, tiga hari atau lebih. Demikian juga malamnya. Maka pada kondisi ini diperkirakan waktunya”[[4]]
Syaikh Hamisy al-Bajuri berkata:
 “Adapun Negara yang tidak terdapat mega yang terbenam, maka waktu isya’ untuk penduduk Negara tersebut adalah berlalunya waktu terbenam mega pada negara paling dekat setelah terbenam matahari.”[[5]]
Karena itu pendapat yg lain mengatakan bahwa di wilayah yg mengalami pergantian siang malam yg ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan:
a.      Mengikuti Waktu Hijaz Jadwal puasa & shalatnya mengikuti jadwal yg ada di hijaz (Makkah, Madinah & sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit & muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yg paling lama di wilayah itu utk dijadikan patokan mereka yg ada di qutub utara & selatan.
b.      Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa & shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yg terdekat. dimana di negeri ini bertahta Sultan/ Khalifah muslim.
Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan & kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.
Sedang bagi mereka yang sedang berada diluar angkasa seperti para astronot muslim apabila akan melaksanakan solat atau berpuasa itu bagaimana?
Menurut hasil bahstu masa’il para ulama NU di jawa timur th 2010, apabila bisa mengetahui waktu setempat, maka harus menggunakan waktu tersebut, jika maka harus dilakukan ijtihad. Dan apabila tidak bisa juga maka berpedoman pada waktu di bumi.[[6]]
Wallahu a’lam bishshawab,


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Shalat-shalat wajib, bagaimana pun kondisinya, tidak akan pernah gugur dari setiap mukallaf. Setiap Muslim yang telah mencapai usia baligh (usia taklif) maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat bagaimana pun kondisinya.
Bagi orang-orang yang tinggal di tempat yang pergantian siang malamnya sangat exstrim maka para ulama’ berpendapat:
1.      Mengikuti Waktu Hijaz Jadwal puasa & shalatnya mengikuti jadwal yg ada di hijaz (Makkah, Madinah & sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit & muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yg paling lama di wilayah itu utk dijadikan patokan mereka yg ada di qutub utara & selatan.
2.      Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa & shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yg terdekat. dimana di negeri ini bertahta Sultan/ Khalifah muslim.
Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan & kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.

B.     KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah yang telah saya susun. Saya sadar dan tahu bahwa makalah saya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu saya sangat mengharapkan sumbangan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



















DAFTAR PUSTAKA

Abdul ghoni, Miftahul akhyar. 2010. NU menjawab problematika ummat. Jawa timur: pengurus wilayah NU Jatim.
Majmu’ fatawa bin Baz, sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/535
Majmu’ Fatawa wa rasail 19/314, syamilah
HR. Muslim no. 2837
Majmu’ Fatawa wa rasail 19/314, syamilah
Fathul Qarib Al-Mujib juz I, hlm.127



[[1]] Majmu’ fatawa bin Baz, sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/535
[[2] ] Majmu’ Fatawa wa rasail 19/314, syamilah
[[3]] HR. Muslim no. 2837
[[4] ] Majmu’ Fatawa wa rasail 19/314, syamilah
[[5]] Fathul Qarib Al-Mujib juz I, hlm.127
[[6]] NU menjawab problematika ummat. Th.1431/2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar