Jumat, 20 Maret 2015

Pengertian Ulumul Hadis dan Cabang-Cabangnya



Tugas Kelompok
Pengertian Ulumul Hadis dan Cabang-Cabangnya
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pengampu : H. Muh. Dzofir, M. Ag
                                                                                         


 



 
 
 
 
 

                                                   Disusun Oleh:                                                        
1.      Nur Lathifah                         1310110122
2.      Koridatul Jannah                  1310110143
3.      M. Yusuf Ali                          1310110152
4.      Nur Sholichin                                    1310110156

 

        
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
Maret 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul saw. Hadis merupakan sumber syariat islam kedua setelah al Qur’an. Oleh karena itu mempelajari hadis-hadis Rasul saw merupakan kewajiban sebagaimana mempelajari al Qur’an. Telah kita sadari bahwa mempelajari hadis membutuhkan ilmu atau kaidah-kaidah sebagaimana mestinya. Dan ilmu tersebut dinamakan Ulumul Hadis.
Ulumul Hadis merupakan ilmu mulia yang merupakan kunci pokok untuk mempelajari hadis-hadis Nabi. Barang siapa yang mempelajari ilmu ini dengan cermat akan mendapatkan kebaikan yang besar yaitu dapat mengenal sunnah-sunnah rasul dan dapat membedakan antara hadis shahih dan hadis dhaif.
Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang ”Pengertian Ulumul Hadis dan Cabang-Cabangnya” secara jelas guna mempermudah pemahaman kita.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Ulumul Hadis?
2.      Apa saja cabang-cabang dari Ulumul Hadis?

C.      TUJUAN
1.      Mengetahui penjelasan dari Ulumul Hadis
2.      Mengetahui penjelasan cabang-cabang dari Ulumul Hadis





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ulumul Hadis
Ilmu Hadis (ulum al-hadis) terdiri dari dua kata, yaitu ilmu (عِلْمُ) dan al-hadis. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilmun-uluumun, علم-علوم yang berarti “ilmu-ilmu”, sedangkan hadis berarti “ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad saw”.[1] Hadis juga memiliki makna jadid, qorib, dan khabar. Adapun pengertiannya sebagai berikut:
a.    Jadid: yang baru (حدوث), yakni apa yang disandarkan kepada Rasul saw 
         dan yang ada setelah al Qur’an.[2]
b.      Qorib: yang dekat, waktunya belum lama ada atau terjadi.
c.    Khabar: berita, yakni: sesuatu yang dibicarakan dan dipindahkan dari
perawi kepada perawi lain.
Dengan demikian pengertian ulum al-hadis adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis nabi Muhammad saw.
Menurut ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu), Ulumul Hadis juga dapat
diartikan sebagai:
a.    Ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul saw dari segi hal ihwal para perawinya, ketelitian, keadilan, dan dari persambungan mata rantai sanadnya.
(علمٌ يُبحثُ فيهِ عن كَيفِيّةِ اتِّصالِ الأَحادِثِ بالرّسولِ صلّى اللّه عليه وسلّم من حَيْثُ معْرِفةٍ أحْوالِ رُوّاتِها ضَبْطًا وعَدْلاً ومن حَيْثُ كَيفِيَةِ السّنَدِ اتِّصالاً وانْقِطاعًا)                                            
b.    Ilmu atau pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantarkan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan). القواعدُ المعرفةُ بِحالِ الرَّاوِي والمرْوِيّ)                                            )
c.    Ilmu atau pengetahuan untuk mengetahui kondisi sanad (penyandaran) dan matan (kandungan hadis).

Dalam ilmu hadis terdapat dua(2) ilmu pokok, yaitu:
  1. Ilmu hadis riwayah
Menurut bahasa, riwayah berasal dari kata rawa(رَوى), yarwi(يرويْ), riwayatan(روايةً) yang berarti:
-          an-naql = perpindahan
-          adz-dzikr = penyebutan
-          al-fath = pertimbangan
Ulama’ yang merintis lahirnya ilmu riwayah ini adalah Muhammad bin Syihab az Zuhri (tinggal di Ailah, desa antara Hijaz dan Syam).
Menurut Ajjaj Al Khatib, hadis riwayah adalah:
العلمُ الّذي يقومُ على نَقلِ مَا أُضِفَ إلى النّبيِّ صلّى اللّه عليه وسلّم من قولٍ أو فِعلٍ أو تقرِيرٍ أو صِفةٍ خَلقيّةٍ أو خُلُقيّةٍ نَقلاً دَقيقًا مُحَرَّرًا                                                                                
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan tabiat maupun tingkah lakunya”.
Menurut Ibnu al-Akfani, hadis riwayah adalah:
            (علمٌ يَشْتَمِلُ أقْوالِ النّبيِّ صلّى اللّه عليه وسلّم وأفْعالِهِ ورِوايَتِها وضَبْطِها وتَحْريرِ ألْفاظِها)          
“Ilmu yang mencakup perkataan, perbuatan Rasul saw, baik periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisannya atau pembakuan lafadz-lafadznya”.
Dapat disimpulkan bahwa Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang mempelajari semua perkataan, perbuatan, taqrir, dan tabiat Rasul saw baik dari cara periwayatannya maupun cara pemeliharaannya.
Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah hadis Rasul saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
a.       Cara periwayatan hadis, baik dari segi penerimaan maupun dari segi 
penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain.
b.      Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan,
dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan terhadap Hadis Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya.
  1. Ilmu hadis dirayah
Secara bahasa kata dirayah berasal dari kata dara(دَرَى), yadri(يَدْرِيْ), daryan(دَرْيًا), dirayatan(دِرايَةً) = pengetahuan. Jadi yang dibahas dalam ilmu hadis dirayah ini adalah dalam segi pengetahuannya, yakni pengetahuan tentang hadis atau pengantar ilmu hadis.
Ilmu hadis dirayah bisa disebut dengan ilmu musthalah hadis, ilmu ushul hadis, dan qowa’idul hadis.
Menurut At-Tirmidzi, ilmu hadis dirayah adalah:
(قَوانينُ تُحَدُّ يَدْريْ بِها أحْوالُ مَتْنٍ وسَنَدٍ وكَيْفِيَةِ التَّحَمُّلِ والأَداءِ وصِفاتِ الرِّجالِ وغير ذلك)        
“Kaidah-kaidah atau undang-undang untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat-sifat rawi dan sebagainya”.
Menurut Ibn al-Akfani, ilmu hadis dirayah adalah:
(علمٌ يُعْرَفُ مِنهُ حَقيقَةُ الرِّوايَةِ وشُرُوْطُها وأنْواعُها وأحْكامُها وحالُ الرُّواةِ وشُروطُهُمْ وأصْنافُ المَرْوِيّاتِ وما يَتَعَلّقُ بِها)                                                                                        
“Ilmu yang mana kita dapat mengetahui hakikat (sumber) riwayat, syarat-syarat periwayatan, macam-macam periwayatan, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat perawi, jenis hadis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya”.
            Dan ada juga yang menjelaskan bahwa ilmu hadis dirayah adalah:
(العلمُ الّذي يَبحَثُ في القَواعِدِ والأَسَسِ والقَوانِينَ والأُصُلِ الّتي نَسْتَطِيْعُ أَنْ نُمَيِّزَ بِها بينَ ما هُوَ صَحيحُ النَّسْبَةِ للرَّسولِ صلّى اللّه عليه وسلّم وما هو مَشْكُوْكٌ في نِسْبَتِهِ إلَيهِ صلّى اللّه عليه وسلّم)    “Ilmu pengetahuan yang membahas tetang kaidah-kaidah, dasar-dasar dan peraturan-peraturan yang dengannya kami dapat membedakan antara hadis yang sahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadis yang di ragukan penyandarannya kepada beliau”.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Dirayah adalah sekumpulan kaidah dan masalah untuk mengetahui keadaan perawi dan marwi. Baik yang menyangkut pribadinya seperti akhlak, tabiat dan keadaan hafalannya maupun yang menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Sedangkan keadaan marwi yaitu kesahihan dan kedhaifan matan, serta dari segi lain yaitu diterima atau tidaknya suatu riwayat.
Objek kajian ilmu hadis dirayah ini adalah sebuah penelitian terhadap para perawi hadis dan keadaan mereka yang meriwayatkan Hadis, begitu juga halnya dengan sanad dan matannya.
Faedah mempelajari ilmu hadis dirayah adalah dapat mengetahui kualitas sebuah hadis, apakah dapat diterima atau ditolak, baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.[3]
B.       Cabang-Cabang Ulumul Hadis
1.      Ilmu Jarh wa at-ta’dil
Kata jarh berasal dari kata جَرَحَ-يَجْرَحُ-جَرحْ artinya melukai badan dan menyebabkan mengalirnya darah.
Prof. Dr. Hasby As-Shiddiqi mengatakan lafadz jarh secara etimologi adalah melukakan badan yang mengeluarkan darah.
Menurut Ibn Manzur dalam kamusnya Lisanul Arab Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Nurudin, M.Ag apabila dikatakan: “Hakim menjarahkan saksi” artinya hakim menolak kesaksiannya.
Selain mengandung makna melukai, jarh juga berarti mencacat secara fisik. Kemudian para ulama’ mendefinisikan jarh adalah:
            (طهور وصف في الرّاوِى يُفْسِدُ عدالة أو غيل يخفظة وظيطه مِمّا يترتب عليه سفوط روايته أو ضعفها أوردها)                                                                                                               
“Nampaknya suatu sifat pada perowi yang merusakkan keadilannya atau mencederaikan hafalannya, sehingga gugurlah riwayatnya, atau dipandang lemah bahkan akan ditolaknya”.
Dengan demikan yang dimaksud jarh adalah Suatu sifat yang muncul atau nampak pada seorang perowi akan kejelekan-kejelekan baik berkaitan dengan daya hafal, kecerdasan, maupun kredibilitas moral. Sehingga perowi yang memiliki sifat tersebut riwayatnya akan tertolak.[4]
Sedangkan ta’dil secara bahasa berarti at-taswiyah (menyamakan), menurut istilah berarti:
            (عَكْسُهُ هو تَزْكِيَةُ الرَّاوي والحُكْمُ عليه بِأنَّهُ عَدْلٌ أو ضابِطٌ)                                               
“Lawan dari al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan , bahwa ia adil atau dhobit”.
Ada juga yang berpendapat bahwa ta’dil adalah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Perawi harus dapat dipercaya, handal, adil, dan tegar.
Musthafa Al-Siba’i berpendapat bahwa Jarh wat ta’dil adalah cabang ilmu hadis yang secara khusus membicarakan tentang sisi negatif dan positif perawi hadis.
Sebagian ulama’ hadis mendefinisikan bahwa jarh wat Ta’dil adalah:
1.      Ilmu yang membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu.[5]
2.      Ilmu yang menerangkan catatan-catatan tentang keterangan memandang adil periwayat atau mencatat (menerangkan keadaan yang tidak baik) periwayat.
3.      Ilmu yang menerangkan kecacatan-kecacatan yang dihadapkan pada para perawi dan penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai lafadz-lafadz yang khusus dan tentang kedudukan lafadz-lafadz itu.
Tokoh-tokoh Jarh wat Ta’dil antara lain:
-          Ibnu Sirin (wafat 110 H)
-          Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H)
-          Abdullah Ibnu Al Mubarok (wafat 181 H)
-          Ibnu Main (158-233 H) yang merupakan orang pertama kali menulis kitab Jarh wat Ta’dil. Kitabnya diberi nama Ma’rifatul Rijal                  ( Pengetahuan tentang Perawi-perawi Hadis).[6]
2.      Ilmu Rijal al-Hadis
Ilmu Rijal al-Hadis adalah ilmu yang mengkaji tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun angkatan setelahnya.
                                    Ada yang berpendapat bahwa ilmu rijal al-hadis adalah:
            (علمٌ يُعرفُ به روّاةُ الأحادِيثِ مِن حَيثُ انّهُم رُوّاةٌ للحديثِ)                                          
            “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis”
Ada istilah lain untuk menyebut ilmu rijal al-hadis, yaitu: Ilmut Tarikh dan Tarikhur Ruwah, Wafayyatur Ruwah, At Tawarikh wal Wafiyyat.
Adapun ruang lingkup ilmu Rijal al-Hadis adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, di negeri mana saja tokoh-tokoh tersebut mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis.
Tokoh perintis ilmu rijal al-hadis ini adalah Sufyan ats-Tsauri (wafat 161 H), Al Bukhari (wafat 256 H), Muhammad Ibnu Sa’ad (wafat 230 H), As Suyuti (wafat 911 H), ‘Aisyah(isteri Rasul saw), dll.
Contoh biografi dari Muhammad Ibnu Sa’ad:
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin sa’ad bin manya’ az-Zuhri. Ia seorang sahaya bani Zuhrah yang lahir di Basrah pada tahun 168 H. Ia pernah berkunjung ke Madinah, Kufah, dan Baghdad. Kepergiannya ke Madinah sebelum tahun 200 H. Di sana ia bertemu dengan beberapa guru besar seperti Al-Waqidi, As-Sakhawi, Waki’ bin al-jarrah, Sulaiman bin Harb, Husyaim bin Basyir, Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukan dan ia menjadi murid mereka pada tahun 189 H. Madinah dikenal sebagai “Negeri Sunah” dan tempat asal periwayatan hadis. Ia belakangan menetap di Baghdad sampai wafat pada tahun 230 H dalam usia 62 tahun.
Semasa hidupnya, ia selalu menyertai sejarawan besar Al-Waqidi, sehingga ia dikenal sebagai “Penulis Al-Waqidi”. Menurut para ahli sejarah, ada tiga kitab yang dinisbatkan kepadanya, yaitu: Ath-Thabaqat al-Kubra, Ath-Thabaqat ash-Shaghir, dan Akhbar an-Nabi. Namun sebenarnya kitab Ath-Thabaqat ash-Shaghir, dan Akhbar an-Nabi telah disebutkan dalam dua juz pertama dari kitab Ath-Thabaqat al-Kubra.
Dalam menyusun kitab Ath-Thabaqat, ia menggunakan dua macam sumber, yaitu:
1.      Sumber musyafahah (dari mulut ke mulut) dan mendengar sendiri  melalui wawancara dengan para perawi.
2.      Sumber tulisan.
Ibnu sa’ad hampir tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan menerima langsung dari para tokoh ahli hadis terkenal pada zamannya. Ia seorang yang jujur, terpercaya, dan teliti dalam meriwayatkan hadis. Ia menyusun kitab-kitabnya dengan sumber karangan-karangan Al-Waqidi, gurunya. Ia menyaring riwayat yang datang dari gurunya dan memenguatkannya dengan riwayat lain yang berasal dari orang-orang yang menekuni masalah nasab, peperangan, dan penaklukan.[7]
3.      Ilmu Mukhtalaf al-Hadis
Ilmu Mukhtalaf al-Hadis yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Ada yang berpendapat bahawa Ilmu Mukhtalaf al-Hadis adalah:
            (علمٌ يُبحثُ فيهعن التَّوْفيقِ بَينَ الأحاديثِ المُتَناقِضَةِ ظاهِرًا)                                               
“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan”.
Sebagian ulama’ menyamakan istilah ilmu mukhtalaf al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu ta’wil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah tersebut artinya sama.[8]
           Langkah memecahkan ilmu Mukhtalaf al-Hadis antara lain:
-          Al Jam’u wa at-Taufiq, yaitu menggabungkan kedua hadis dan memakai secara bersama-sama atau bergantian salah satu di antara kedua riwayat tersebut. Contoh:
۱. عن ابن عباس قال: قال رسول اللّه ص م: أحَبُّ الاعمالِ الى اللّه بعدَ الفرائضِ إدخالُ السُّرورِ على المسلمِ                                                                                    
۲. وعن عاءشة قالت: قال رسول اللّه ص م: أحَبُّ الاعمالِ الى اللّه تعالى اَدْوَمُها واِنْ قَلَ       Artinya: “Dari Ibnu Abbas: Rasul saw bersabda: amal yang pertama
setelah al fara’idl adalah selalu menyenangkan sesama muslim”.
“ Dari ‘aisyah : Rasul saw bersabda: amal yang pertama yaitu melanggengkan dalam semua amal meskipun kecil atau sedikit”.
-          Takhsish, yaitu membatasi lafadz hadis yang memiliki makna sangat umum. Contoh:
 عن جابر رضي اللّه عنه: قال رسول اللّه وسلم: فيما سَقَتِ الأنْهارُ والغَيْمِ العُشُوْرِوفيما سَقَى بِالسَّانِيَةِ نِصْفُالعُشُورِ                                                                                       
-          Artinya: “Dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu dari Rosululloh saw bersabda:
Pada yang diari dari sungai dan mendung (hujan) adalah sepersepuluh dan pada yang diari dengan alat adalah seperduapuluh”.
Kalimat yang dipakai disini bersifat umum (Am), baik hasil pertanian itu sedikit atau banyak. Hadis ini ditakhsis dengan hadist sohih yang lain, yang berbunyi:   ليس فيما دُوْنَ خَمْسَةِ أوسُقٍ صَدَقَةٌ                   Artinya: “Tidak ada zakat pada kurma dan biji-bijian yang kurang dari
lima wasaq”.


-          Taqyid, yaitu membatasi lafadz yang mempunyai arti mutlak (pasti).
Contoh:
عن المُغيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّهُ خَطَبَ امْرَأةً فقال النّبيُّ ص م: اُنْظُرْ اِلَيْها فَاِنّهُ اَحْرَى اَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُما. الخَمْسَةُ اِلاّ اَبا داوُد                                                                                          
Artinya: “Dari Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya ia pernah
meminang seorang wanita, lalu Nabi SAW bersabda,
Lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu lebih menjamin
untuk melangsungkan hubungan kamu berdua”. (HR.
Khamsah kecuali Abu Dawud)
kemudian ditaqyid menjadi:
عن ابنِ عُمرَ رضِيَ اللّهُ عنهُ اَنَّ رسولَ اللّهِ ص م: لايَخْطُبُ الرَّجُلُ على خِطْبَةِ اَخِيْهِ حتّى يَطْرُكَ الخاطِبُ قَبْلَهُ اَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخاطبُ. رواه احمد والبخارى والنَّسائى                Artinya: “Dan dari Ibnu Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak boleh seseorang meminang atas pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya itu meninggalkan atau memberi ijin kepadanya”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Nasa’i)
-          Tarjih, yaitu menguatkan pada salah satu hadis dari dua hadis yang berlawanan. Contoh:
۱. عن ابن عباس قال: قال رسول اللّه ص م: أحِبُّ الاعمالِ الى اللّه بعدَ الفرائضِ إدخال السرور على المسلم                                                                                     
 ۲. وعن عاءشة قالت: قال رسول اللّه ص م: أحِبُّ الاعمالِ الى اللّه تعالى ادومها وان قل       Artinya: “Dari Ibnu Abbas: Rasul saw bersabda: amal yang pertama
setelah al fara’idl adalah selalu menyenangkan sesama muslim”.
“ Dari ‘aisyah : Rasul saw bersabda: amal yang pertama yaitu melanggengkan dalam semua amal meskipun kecil atau sedikit”.
Penulis ilmu Mukhtalaf al-Hadis antara lain: Imam Syafi’i (wafat 204 H), Ibnu Qutaibah (wafat 276 H), At-Tahawi (wafat 321 H), dll.

4.      Ilmu Gharibul Hadis
Kata ghorib ((غَريب berarti asing atau sulit. Menurut Ibnu Al-Shalah, Ilmu Gharibul Hadis adalah:
(عِبارَةٌ عَمّا وَقَعَ في مُتونِ الأحاديثِ من الألفاظِ الغامِضَةِ البَعيدَةِ من الفَهْمِ لِقِلَّةِ إسْتِعْمالِها)           
“Ungkapan dari lafadz-lafadz yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan hadis karena (lafadz tersebut) jarang digunakan.”
Dengan demikian Ilmu Gharibul Hadis adalah ilmu untuk mengetahui makna-makna yang sulit pada sebuah hadis. Cara yang dilakukan para ulama’ untuk memudahkan dalam memahami hadis-hadis yang gharib adalah dengan memahami satu per satu makna kosa kata (mufradat) matan hadis.
            Contoh: قال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم: مَنْ مَشَى فِي ظُلْمَةِ الّيلِ إلى المَسَاجِدِ لَقِيَ اللّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِنُوْرٍ يَوْمَ القِيمَةِ                                                                                                                   
            Artinya: “Rasul saw bersabda: Barang siapa yang berjalan dalam
kegelapan malam menuju ke masjid akan bertemu Allah swt di hari qiamat dengan membawa cahaya”.[9]
Kosa Kata (mufradat):           
مَنْ                     : Orang
مَشَى                  : berjalan
فِي ظُلْمَةِ              : dalam kegelapan
الّيلِ                    : malam
إلى المَسَاجِدِ          : ke masjid
لَقِيَ                    : bertemu
            بِنُوْرٍ                  : dengan cahaya
            يَوْمَ القِيمَةِ             : hari akhir
Ulama’ yang menyusun hadis-hadis yang gharib antara laian: Abu Ubaidah ma’mar bin Matsna Al TaymiAl-Bisri (wafat 210 H), Abu al-Hasan an-nadhr, bin ismail al-Mazini An-nahawi (wafat 204 H) Qutaibah (wafat 276 H), dll.

5.      Ilmu ‘Ilalul Hadis
Kata ‘illat ((علّة menurut bahasa berarti sakit. ‘Ilal(علال)  merupakan bentuk jama’ dari “العلّة”. Menurut istilah ‘ilal berartui sebab-sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadis.
Dengan demikian, Ilmu ‘Ilalul Hadis yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu Hadis. Padahal dhahirnya tidak nampak kecacatan.
Menurut muhaddisin, Ilmu ‘Ilalul Hadis adalah:
(علمٌ يُبحَثُ عن الأسْبابِ الخَفِيَّةِ الغامِضَةِ من حَيْثُ أنّها تَقْدَحُ فى صِحَّةِ الحديثِ كَوَصْلِ مَنْقَطِعٍ ورَفْعِ مَوْقُوْفٍ وَإدْخالِ حديثٍ وما شابَهَ ذلِكَ)                                                               
“Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis seperti mengatakan muttashsil terhadap hadis yang munqoti’, menyebut marfu’ terhadap hadis yang mauquf, memasukkan hadis terhadap hadis lain dan hal-hal ya g seperti itu.”
Ilmu ini lebih menekankan apakah suatu Hadis termasuk Hadis dla`if, bahkan mampu melemahkan suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut seperti salah dari segala illat.
Penulis Ilmu I’lalul Hadis antara lain: Ibnu al Madani(wafat 234 H), Imam Muslim (wafat 261 H), Muhammad bin Abdullah al-Hakim (wafat 405 H), dll.
Contoh: Baqiyyah dari Yunus dari az-Zuhry dari Salim dari Umar dari Rasulullah Saw bersabda :
            منْ أدْرَكَ ركْعَةً مِن صلاةِ الجُمُعةِ وغيرِها فقد أدْركَ
Artinya: “Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at dan
shalat lainnya maka telah mendapatkan shalatnya”.
Abu Hatim mengatakan bahwa ini merupakan kesalahan pada sanad sekaligus matan, yang benar adalah Az-Zuhri dari Abu Salmah dari Abu Hurairah dari Nabi Saw, ia bersabda:
مَنْ أدرَكَ مِن صلاةٍ ركعةً فقَدْ أدرَكَها
             Artinya: Barang siapa yg mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia
telah mendapatkannya”.
Sedangkan lafadz “shalat jum’at” tidak ada dalam hadis ini. Dengan demikian terdapat illat pada sanad dan matan.
‘Illat dapat diketahui dengan cara mengumpulkan jalur-jalur hadits dan meneliti perbedaaan perawinya, kekuatan ingatan dan kepintaran mereka (dhabit), Ukuran yang dipergunakan dalam analisisnya dengan menggunakan dalil aql (rasio), ijma’ dan al-Qur’an.[10]
6.      Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin diambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menghapus (menasikh) hukum hadis yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan disebut nasikh.
Ada yang mendefinisikan Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis seperti berikut:
            (العلمُ الّذي يَبْحَثُ عنِ الأحاديثِ المُتَعارِضَةِ الّتى لا يُمْكِنُ التَّوْفيقِ بَيْنَها من حَيْثُ الحُكْمِ على بَعْضِها الأخَرِ بِأنَّهُ مَنْسُوْخٌ فَما ثَبَّتَ تَقَدُّمُه كانَ مَنْسُوْخًا وما ثَبَتَ تَأخُّرُهُ كان سِخًا)                                 
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan karena (materi yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus dengan ketetapan bahwa yang datang terlebih dahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian disebut Nasikh.
Contoh:
Dari Syadad Ibn Aus bahwa Rasul saw bersabda:اَفْطَرَ الحاجِمُ والمَحْجومُ                        Artinya: “Telah batal puasanya orang yang membekam dan berbekam”[11]
Kemudian pada lain waktu Rasulullah bersabda:
لايُفْطِرُ من قاءٍ ولا من إحْتِلَمٍ ولا مِن اِحْتِجَمٍ                                                      
Artinya: “Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang bermimpi
kemudian keluar sperma dan orang yang berbekam.”
Kedua hadis tersebut tampak saling bertentangan, yang pertama menyatakan bahwa orang yang membekam dan dibekam keduanya batal puasanya. Sedangkan hadis kedua menyatakan sebaliknya. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hazm, hadis pertama sudah di-naskh (dihapus) dengan hadis kedua. Karena hadis pertama lebih awal datangnya dari hadis kedua.
7.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Kata asbab adalah jama’ dari sababun سَبَبٌ-أسْبابٌ)). Menurut bahasa diartikan dengan ‘al habl’ = tali, saluran. Yang artinya dijelaskan sebagai ‘segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya’.
Menurut istilah adalah: (كُلُّ شَيْءٍ يَتَوَصَّلُ بِهِ إلَى غايَتِهِ)
            “Segala sesuatu yang menghantarkan pada tujuan”.
Ada juga yang mendefinisikan dengan: suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu.
Sedangkan kata wurud dapat berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti: (الماءُ الّذي يُوْرَدُ) yang berarti “Air yang memancar, atau air yang mengalir”[12]
Al-Suyuthi merumuskan pengertian Ilmu Asbab Wurud al-Hadis adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya.
Dari uraian pengertian tersebut, Ilmu Asbab Wurud al-Hadis adalah suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Rasul saw menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
Urgensi Ilmu Asbab Wurud al-Hadis adalah sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis.
Contoh: عن ابي هُريرةَ قال: قال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم: في البَحْرِ (هُو الطَّهورُ ماؤُهُ. الحِلُّ مَيْتَتُهُ) ورواه مالك والشافعيُّ واحمد                                                                                  
           

Artinya: “Dari Abi Hurairah. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw:
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Imam malik, syafi’i, dan ahmad).[13]
Hadis ini dituturkan Rasul saw ketika berada di tengah lautan dan ada salah seorang sahabat yang kesulitan berwudhu karena tidak mendapatkan air.
8.      Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif
Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Al-Hafidz ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua (2) bagian yaitu at-Thasif dan at-Tahrif.
Sedangkan Ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua ilmu tersebut menjadi satu ilmu yaitu Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif. Menurutnya, ilmu ini merupakan salah satu ilmu yang dapat membangkitkan semangat para ahli dalam hafalan (huffazh). Karena dalam hafalan para ahli terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang diterimanya dari orang lain.[14]
Contoh:
Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: أنَّ رسول اللّه ص م: إِحْتَجَرَ في المسجدِ                 (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Kemudian Ibnu Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara=إِحْتَجَرَ  dengan menggantikannya menjadi ihtajama=إِحْتَجَمَ (berbekam).





BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Ulumul Hadis adalah ilmu-ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hadis Rasul saw.
Ilmu hadis mempunyai dua (2) ilmu pokok, yaitu:
1.    Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang mempelajari semua perkataan, perbuatan, taqrir, dan tabiat Rasul saw baik dari cara periwayatannya maupun cara pemeliharaannya.
2.    Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu yangg mempelajari sekumpulan kaidah dan masalah untuk mengetahui keadaan perawi dan marwi serta maqbul dan mardudunya suatu hadis.
Cabang-cabang Ulumul Hadis di antaranya adalah:
  1. Ilmu Jarh wa at-ta’dil
  2. Ilmu Rijal al-Hadis
  3. Ilmu Mukhtalaf al-Hadis
  4. Ilmu Gharibul Hadis
  5. Ilmu ‘Ilalul Hadis
  6. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
  7. Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
  8. Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif
B.       Saran
Kami mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan dalam penyusunan ini dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih baik kualitasnya di masa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.





DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hassan. 2006. Terjemah Bulughul Maram. Bandung: Diponegoro.
Muttaqiin, Muhammad. Arba’a Rasaail. Surabaya: Maktabah Hidayah.
Nurudin, Muhammad. 2009. Ilm Al-Jarh Wat Ta’dil. Kudus: STAIN Kudus Press.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada.
Thahhan, Mahmud. 1997. Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. 
Yogjakarta: Titian Ilahi Press.
Umar. 2011. Ilmu Hadits. Kudus: Nora Media Enterprise.
Maret 2014 pukul 14:39 WIB



[1] Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal.15
[2] Ibid., hal.16
[3] Manzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 28
[4] Muhammad Nurudin, Ilm Al-Jarh Wat Ta’dil, (Kudus: STAIN Kudus Press, 2009), hal. 1-2
[5] Subhi ash-Shalih, opcit., hal.102
[6] Muhammad Nurudin, opcit., hal. 76
[7] Subhi ash-Shalih, op cit., hal. 296-297
[8] Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 43
[9] Muhammad Muttaqiin, Arba’a Rasaail,(Surabaya: Maktabah Hidayah), hal. 74
[10] http://rizkiputriamalia.blogspot.com/2013/05/ilalil-hadis.html
[11] Umar, Ilmu Hadis, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), hal. 44
[12] Munzier Suparta, MA, Op Cit., hal. 38-39
[13] A. Hassan, Terjemah Bulughul Maram,(Bandung: Diponegoro, 2006), hal. 29
[14] Munzier Suparta, MA, Op Cit., hal. 41-42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar