TUGAS
KELOMPOK
PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM
HUKUM WAD’I
Makalah Ini Diajukan Guna Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ahmad
Attabik, Lc. M.S.I
Disusun
Oleh:
1. Dianatul
M (1310110140)
2. Adib
(1310110142)
3. Lusi
Nur Nafiah (1310110144)
4. Dian
El Rahma (1310110148)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
TARBIYAH
(PAI)
KELAS
D
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kelompok 7 panjatkan kepada Allah SWT atas
rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kelompok 7 sehingga kelompok 7 dapat
menyelesaikan tugas Makalah tentang “Hukum Wad’i: Pengertian dan Macam-macamnya”
yang merupakan tugas terstruktur Ushul
Fiqh pada semester ketiga.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai
pengertian dan
macam-macam dari hokum Wad’i.
Dalam makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
kami ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1.
Pak
attabi’selaku Dosen mata kuliah Ushul Fiqhyang telah memberikan tugas mengenai
makalah ini, sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah makin bertambah
dan hal itu sangat bermanfaat bagi penyusunan skripsi kami di kemudian hari.
2.
Pihak-pihak
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat.
Kami selaku kelompok 7 sebagai penulis menyadari bahwa penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan
manfaat kepada kami. Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima
dengan senang hati.
Kudus,November 2014
Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah
yang dihadapi manusia pada era perkembangan zaman, Ushul Fiqh muncul dengan
beberapa hokum Syara’ yang berguna untuk menjawab berbagai masalah yang di
hadapi manusia pada perkembangan zaman.
Dalam pembagian hokum syara’, Ushul Fiqh
membagi hokum syara’ menjadi dua, yaitu hokum taklif’I dan hokum wad’i.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
hokum wad’I beserta macam-macamnya.
Untuk memahami hal tersebut kami memiliki
beberapa penjelasan mengenai perkembangan manusia yang tersusun dalam makalah
ini.
B. Rumusan
Masalah
Masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.
Apakah
pengertian dari hukum wad’i?
2.
Apa macam-macam
hukum wad’i?
C. Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini antara lain:
1.
Mengetahui dan
memahamipengertian hukum wad’i,
2. Mengetahui dan memahami macam-macam hukum wad’i.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HUKUM WAD’I
Hukum Wad’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang
terhadap sesuatu[1].
Hukum wad’i merupakan hokum yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau
mani’[2].
Hukum
wad’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab)
dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut),
antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara
hukum yang sah dan hukum yang tidak sah[3].
Hukum ini dinamakan hukum wad’I karena
dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan.
Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain
mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang menghendaki dan
menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu),
pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh),
rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah[4].
Jadi, Hukum wad’I adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal,
sekaligus azimah dan rukhsah.
B. MACAM-MACAM HUKUM WAD’I
Hukum
Wad’I terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan azimah,
sah dan batal.
1)
Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis,
artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan.
“dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa
menyampaikan seseorang kepada tujuan.
Semua tanda yang melahirkan hukum
dan apabila hubungan antara tanda dan ketentuan hukum nampak jelas tanda itu
memang cocok dijadikan sebab lahirnya hukum yang dinamakan ”illat”. Tetapi
apabila hubungan antara tanda dan ketentuan hukum kurang jelas dan kurang cocok
yang seperti ini dinamakan sebab.
Karena
itu para ahli ushul memberi batasan tentang sebab:
هو
ما جعله الشا رع علا مة عن مسببه وربط وجو د المسبب بوجو ده وعد مه بعد مه
Artinya:
“Sebab itu ialah apa yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas
musabab dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya
musabab karena tidak adanya sebab”.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab adalah
sesuatu yang keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu
hokum dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum[5]
Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, sebab
yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan
mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya
waktu shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib
mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan yang menyebabkan wajib puasa,
syirik yang menyebabkan haram kawin, sakit yang menyebabkan buka puasa pada
bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris, perkawinan yang
menjadi sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab sahnya tindakan.
Sebab dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang
menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.
Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu tidak
diterima akal kalau ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan
hukum syara’ bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan
menyingkirkan manusia dari kerusakan, inilah yang menjadi sebab utama lahirnya
berbagai ketentuan hukum.
Dilihat dari
segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu[6]:
1. Al-Sabab al
waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’ sebagai
al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:
ÉOÏ%r&no4qn=¢Á9$#Ï8qä9à$Î!ħôJ¤±9$#4n<Î)È,|¡xîÈ@ø©9$#tb#uäöè%urÌôfxÿø9$#(
¨bÎ)tb#uäöè%Ìôfxÿø9$#c%x.#Yqåkô¶tBÇÐÑÈ
Artinya:
“Dirikanlah
salat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`: 78)
2. Sabab al-
ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamr, sebagaimana sabda
Rosul:
كل مشكر حرام
Artinya:
“Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad
Ibnu Hambal dan Ashhab Al-Sunan)
2)
Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum
dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada.
Syarat letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrutpun
tidak ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut[7].
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab hukum
seperti pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat
halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu sah disyaratkan
dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan
baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi
syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’
yang seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan
oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat syar’i
seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang
saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak
mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
a)
Syarat
yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil,
ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama
menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
b)
Syarat
yang terkandung dalam kitab wad’i. Contohnya haul bagi yang memiliki harta kekayaan
yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
a)
Syarat
yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan tidak
bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
b)
Syarat
yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan
bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
c)
Syarat
yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarat
yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak
ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun, kalau
terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.
3)
Mani’
Yang
dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
هو ما يلزم من وجو ده عدم الحكم او
بطلا ن السبب و قد يتحقق الشر عي و تتوا فر جميع شرو طه ولكن بوجوده مانع يمنع تر
تب الحكم عليه.
Artinya:
“ Mani’ialah apa yang memastikan
adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah
terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah)
berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau
sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang membunuh
itu adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat
dilaksanakan hukuman qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan hukum seperti
pembunuhan telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5
macam[8]:
a)
Mani’
yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka. Tidak
boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang yang merdeka bukan
termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi sebab
berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi sebab kebolehan menguasai dan
mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
b)
Mani’
yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak
ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang
mengikat perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya, penjual yang
seperti ini tidak sah karena terdapat mani’ ialah barang yang dijuala adalah
milik orang lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan
itu, maka perjanjian itu menjadi sah.
c)
Mani’
yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak
penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap barang yang
diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak boleh dan si
B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergunakan selama tiga
hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau
pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum syarat
berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
d)
Mani’
yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah. Khiyar ru’yah
tidak menghalangi lahirnya hak milik, namun hak milik itu dianggap belum
sempurna sebelum pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan pembeli.
Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian
selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang ditetapkan tetapi
dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan persyaratan yang
ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetujuan penjual dan
tanpa melalui peradilan.
e)
Mani’
yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A sebagai pembeli sesuatu
barang yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya kemudian ternyata
cacat, pembeli berhak memilih antara meneruskan perjanjian atau mengembalikan
barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan barang itu sesudah mendapat
persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan lamanya hak mengembalikan
tidak lebih dari tiga hari.
4)
Azimah
dan Rukhsah
Para
ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:
ما
شر عه الله اصالة من الأ حكا م العا مة التى لا تختص بحا ل دون حا ل ولا بمكلف دون
مكلف . . .
Artinya:
“
Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu
pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada
mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak
berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk
tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap orang,
diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap melakukannya.
Dan
yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
ما
شر عه الله من الأ حكا م تخفيفا على المكلف حا لا ت خا صة تقتضى هذ االتخفيف
Artinya:
“ hukum yang telah ditetapkan
untuk memberikan kemudahan bagi mukhalaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan
kemudahan”.
Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:
a)
Rukhsah
yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat kesulitan dalam
melaksanakan ketentuan umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan
utang piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada seluruh anggota
keluarga yang membunuh.
b)
Rukhsah
karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah dalam
firman-Nya:
4$oY/uwurö@ÏJóss?!$uZøn=tã#\ô¹Î)$yJx.¼çmtFù=yJymn?tãúïÏ%©!$#`ÏB$uZÎ=ö6s%4
286. “. . . Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan
kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. . .” (Q.S. Al Baqarah: 286)
c)
Rukhsah
yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah sehingga terdapat
kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah lebih banyak.
d)
Rukhsah
menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah hukum pengecualian dari
ketentuan hukum umum.
5)
Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur
kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat
dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’
dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’
yang dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidk menggugurkan kewajiban
didunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala[9].
Secara umum bahwasanya sah adalah perbuatan yang dilakukan mukalaf
dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di tetapkan
syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’
tercapai. Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Hukum Wad’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang
terhadap sesuatu.
Hukum Wad’I terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat,
mani, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
B. SARAN
Dengan riwayat yang diatas telah
menunjukkan betapa pentingnya mengetahui Pengertian hukum wad’i dan
macam-macamnya.Banyak hal yang belum terselesaikan dalam makalah ini. Kami
menyadari akan keterbatasan dan kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan
sumber rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi Satria. 2005. Ushul
Fiqih. Jakarta: Kencana Preda Media Group
Haroen Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta:
Logos Publishing House
Hudari, Muhammad. 1965.
Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah Tijariyatil Kubra.
Karim Asyafi’i. 1997. Fiqih (Ushul Fiqh).
Bandung: Pustaka Setia
Mughits Abdul. 1983. Ushul Fikih
Bagi Pemula. Bandung:
Al-Ma’rif
Umam Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung:
Pustaka Setia
[1]Drs. H. asyafi’I Karim, Fiqih (Ushul Fiqh),
Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 107.
[2]Drs. Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1,
Bandung: Pustaka Setia, 1998, hal: 242.
[5]Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hal:
260.
[9] Muhammad Hudari Bek, Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah Tijariyatil
Kubra, 1965, hal: 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar