Jumat, 20 Maret 2015

PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM HUKUM WAD’I



TUGAS KELOMPOK
PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM
HUKUM WAD’I
Makalah Ini Diajukan Guna Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ahmad Attabik, Lc. M.S.I

 














Disusun Oleh:
1.      Dianatul M                 (1310110140)
2.      Adib                           (1310110142)
3.      Lusi Nur Nafiah         (1310110144)
4.      Dian El Rahma           (1310110148)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH (PAI)
KELAS D
November, 2014

KATA PENGANTAR
                Puji dan syukur kelompok 7 panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kelompok 7 sehingga kelompok 7 dapat menyelesaikan tugas Makalah tentang “Hukum Wad’i: Pengertian dan Macam-macamnya”  yang merupakan tugas terstruktur Ushul Fiqh pada semester ketiga.
            Dalam makalah ini kami membahas mengenai pengertian dan macam-macam dari hokum Wad’i.
Dalam makalah ini, kami telah banyak mendapat  bantuan dan masukan dari berbagai  pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1.      Pak attabi’selaku Dosen mata kuliah Ushul Fiqhyang telah memberikan tugas mengenai makalah ini, sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah makin bertambah dan hal itu sangat bermanfaat bagi penyusunan skripsi kami di kemudian hari.
2.      Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat.
Kami selaku kelompok 7 sebagai penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat kepada kami. Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.




Kudus,November 2014

Kelompok 7


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era perkembangan zaman, Ushul Fiqh muncul dengan beberapa hokum Syara’ yang berguna untuk menjawab berbagai masalah yang di hadapi manusia pada perkembangan zaman.
Dalam pembagian hokum syara’, Ushul Fiqh membagi hokum syara’ menjadi dua, yaitu hokum taklif’I dan hokum wad’i.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang hokum wad’I beserta macam-macamnya.
Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan mengenai perkembangan manusia yang tersusun dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.      Apakah pengertian dari hukum wad’i?
2.      Apa macam-macam hukum wad’i?
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1.      Mengetahui dan memahamipengertian hukum wad’i,
2.      Mengetahui dan memahami macam-macam hukum wad’i.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN HUKUM WAD’I
Hukum Wad’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu[1].
Hukum wad’i merupakan hokum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’[2].
Hukum wad’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah[3].
Hukum ini dinamakan hukum wad’I karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah[4].
Jadi, Hukum wad’I adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus azimah dan rukhsah.

B.     MACAM-MACAM HUKUM WAD’I

Hukum Wad’I terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
1)      Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab, secara etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang  kepada tujuan.
Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang cocok dijadikan sebab lahirnya hukum yang dinamakan ”illat”. Tetapi apabila hubungan antara tanda dan ketentuan hukum kurang jelas dan kurang cocok yang seperti ini dinamakan sebab.
Karena itu para ahli ushul memberi batasan tentang sebab:
هو ما جعله الشا رع علا مة عن مسببه وربط وجو د المسبب بوجو ده وعد مه بعد مه
Artinya:
Sebab itu ialah apa yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas musabab dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab”.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu hokum dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum[5]
Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan yang menyebabkan wajib puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin, sakit yang menyebabkan buka puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris, perkawinan yang menjadi sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab sahnya tindakan.
Sebab dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.
Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu tidak diterima akal kalau ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan hukum syara’ bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari kerusakan, inilah yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum.
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu[6]:
1.      Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:

ÉOÏ%r&no4qn=¢Á9$#Ï8qä9à$Î!ħôJ¤±9$#4n<Î)È,|¡xîÈ@ø©9$#tb#uäöè%ur̍ôfxÿø9$#(
¨bÎ)tb#uäöè%̍ôfxÿø9$#šc%x.#YŠqåkôtBÇÐÑÈ
Artinya:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`: 78)
2.      Sabab al- ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamr, sebagaimana sabda Rosul:
كل مشكر حرام
Artinya:
Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad Ibnu Hambal dan Ashhab Al-Sunan)




2)      Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrutpun tidak ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut[7].
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab hukum seperti pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’ yang seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat syar’i seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
a)      Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil, ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
b)      Syarat yang terkandung dalam kitab wad’i. Contohnya haul bagi yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
a)      Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
b)      Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
c)      Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.

3)      Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
هو ما يلزم من وجو ده عدم الحكم او بطلا ن السبب و قد يتحقق الشر عي و تتوا فر جميع شرو طه ولكن بوجوده مانع يمنع تر تب الحكم عليه.
Artinya:
            Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang membunuh itu adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat dilaksanakan hukuman qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan hukum seperti pembunuhan telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5 macam[8]:
a)      Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang yang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi sebab berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi sebab kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
b)      Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya, penjual yang seperti ini tidak sah karena terdapat mani’ ialah barang yang dijuala adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan itu, maka perjanjian itu menjadi sah.
c)      Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak boleh dan si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergunakan selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
d)     Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah. Khiyar ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak milik, namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang ditetapkan tetapi dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.
e)      Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A sebagai pembeli sesuatu barang yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya kemudian ternyata cacat, pembeli berhak memilih antara meneruskan perjanjian atau mengembalikan barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan barang itu sesudah mendapat persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.

4)      Azimah dan Rukhsah
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:
ما شر عه الله اصالة من الأ حكا م العا مة التى لا تختص بحا ل دون حا ل ولا بمكلف دون مكلف . . .
Artinya:
Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap melakukannya.
Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
ما شر عه الله من الأ حكا م تخفيفا على المكلف حا لا ت خا صة تقتضى هذ االتخفيف
Artinya:
            hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukhalaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”.
Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:
a)      Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan utang piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada seluruh anggota keluarga yang membunuh.
b)      Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
4$oY­/uŸwurö@ÏJóss?!$uZøŠn=tã#\ô¹Î)$yJx.¼çmtFù=yJymn?tãšúïÏ%©!$#`ÏB$uZÎ=ö6s%4
286. “. . .  Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al Baqarah: 286)

c)      Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah lebih banyak.
d)     Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah hukum pengecualian dari ketentuan hukum umum.

5)      Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidk menggugurkan kewajiban didunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala[9].
Secara umum bahwasanya  sah adalah perbuatan yang dilakukan mukalaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di tetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil
BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Hukum Wad’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum Wad’I terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan azimah, sah dan batal.

B.     SARAN
Dengan riwayat yang diatas telah menunjukkan betapa pentingnya mengetahui Pengertian hukum wad’i dan macam-macamnya.Banyak hal yang belum terselesaikan dalam makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan sumber rujukan.

















DAFTAR PUSTAKA

Effendi Satria.  2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Preda Media Group
Haroen Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Publishing House
Hudari, Muhammad. 1965. Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah Tijariyatil Kubra.
Karim Asyafi’i. 1997. Fiqih (Ushul Fiqh). Bandung: Pustaka Setia
Mughits Abdul. 1983. Ushul Fikih Bagi Pemula. Bandung: Al-Ma’rif
Umam Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia


[1]Drs. H. asyafi’I Karim, Fiqih (Ushul Fiqh), Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 107.
[2]Drs. Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hal: 242.
[3] Abdul Mughits, Ushul Fikih Bagi Pemula, Bandung: Al-Ma’rif, 1983, hal: 145.
[4] Prof Dr. H. Satria Effendi, Ushul Fiqih,Jakarta: Kencana Preda Media Group, 2005, hal: 66.
[5]Nasrun Haroen, Ushul Fiqih,  Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hal: 260.
[6]Ibid., hal: 61.
[7]asyafi’I Karim, Fiqih (Ushul Fiqh), Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 113.
[8]Ibid., hal: 118.
[9] Muhammad Hudari Bek, Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah Tijariyatil Kubra, 1965, hal: 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar