Sabtu, 14 Maret 2015

TALQIN MAYIT Lengkap Beserta Penjelasannya


TALQIN MAYIT Lengkap Beserta Penjelasannya

Sebetulnya masalah TALQIN dengan segala macam persoalannya itu sudah dikupas oleh para ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan selalu diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan tetapi amaliyah warga kita tadi menjadi terancam kelangsungannya sejak munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi yang sangat berlebihan dalam usaha memurnikan ajaran Islam, sampai-sampai mereka itu melarang amalan-amalan umat Islam yang bersifat furu’iyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut Ahlussunnah wal Jamaah.


Ø Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan kembali kepada orang yang sedang naza’ atau kepada mayit yang baru saja dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
Talqin adalah memahamkan atau mengajarkan. Laqqana Al kalam artinya mengajarkan sebuah ucapan. Talqin menurut syariat adalah memahamkan kalimat tauhid ketika manusia mengalami sakaratul maut (naza’). (Mausu’ah Fiqh Al ‘Ibadah, 1/187)
Talqin ada 2 :
1.      Sebelom mati
2.      Sesudah dikubur


Ø Adab-Adab Talkin


1.      Hendaknya dilakukan secukupnya tanpa perlu mengulang-ulang
Para ulama memakruhkan talkin yang dilakukan berulang-ulang dan terus menerus. Karena hal ini justru akan mengakibatkan seorang yang sedang sakaratul maut merasa tertekan dengan tuntunan itu. Padahal ia sedang merasakan penderitaan yang sangat. Sehingga ditakutkan akan munculnya ketidaksukaannya terhadap kalimat ini di dalam qalbunya. Bahkan bisa jadi akan ia ungkapkan dengan ucapannya, sehingga bukan ucapan tauhid yang ia ucapkan, justru celaan dan kebencian terhadap kalimat ini yang keluar dari mulutnya.

2.      Cukup sekali, kecuali bila mengucap ucapan lainnya
Apabila orang yang sedang sakaratul maut telah mengucapkan kalimat ini, maka telah mencukupi dan tidak perlu di-talkin lagi. Namun, bila setelah ia mengucapkan kalimat ini ia mengucapkan kalimat lain, maka perlu kembali di-talkin, sehingga kalimat ini adalah kalimat akhirnya.

3.      Talkin adalah mengingatkan bukan memerintahkan
Kadang kita dapati seorang men-talkin saudaranya dengan kalimat tauhid ini namun dengan cara memerintah. Padahal, talkin yang dilakukan saat seperti ini sifatnya sekadar mengingatkan. Sebab, selain dituntut untuk mengatakan kalimat tauhid, juga dituntut untuk meyakini kandungan kalimat ini. Nah, kalau talkin ini bersifat perintah, boleh jadi ia akan mengucapkannya karena tekanan perintah saja, sedangkan jiwanya mengingkarinya. Lalu apakah artinya ucapan ini bila tidak diyakini. Demikian yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadush Shalihin.

4.      Talkin diperuntukkan kepada seluruh orang
Yakni tidak khusus diperuntukkan untuk seorang muslim saja. Namun juga dianjurkan bagi orang kafir untuk mengucapkan kalimat ini. Diharapkan, di akhir hidupnya termasuk orang yang bertauhid. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam men-talkin paman beliau Abu Thalib tatkala menghadapi kematian.

5.      Talkin dengan lafadz Allah saja?
Sebagian orang berpendapat bahwa men-talkin boleh dengan lafadz Allah saja. Alasannya khawatir dengan kalimat yang panjang, laa ilaaha illallah, bisa jadi baru membaca laa ilaaha keburu mati. Sehingga maknanya justru sangat fatal, yaitu tidak ada sesembahan. Sehingga menurut mereka, orang semacam ini mati dalam keadaan tidak bertuhan.
Pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan. Di antaranya:
1. Dalam hadits secara tegas men-talkin dengan laa ilaaha illallah.
2. Lafadz Allah saja tidak menunjukkan tauhid orang yang mengucapkannya.
3. Allah mengangkat hukum (tidak memberikan beban) kepada siapa saja di luar kemampuannya. Seperti orang yang lupa atau terpaksa. Maka kondisi saat sekarat tentu lebih utama untuk dimaafkan. Apalagi orang tersebut tentunya meniatkan untuk melafadzkan secara utuh. Sedangkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjelaskan bahwa amalan itu sesuai dengan niatnya. Allahu a’lam.
Referensi:
- Syarh Shahih Muslim
, An Nawawi rahimahullah.
- Aunul Ma’bud, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq rahimahullah. 
- Faidhul Qadir, Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi rahimahullah.
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 20 vol. 02 1433 H – 2012, hal. 38-40.
 



Ø Mentalqinkan Dengan lafal LA ILAHA ILLAH sebelum meninggal
Talqin adalah sunnah, dan ini telah disepakati para imam kaum muslimin. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
 “Talqinkanlah orang sedang menghadapi kematian di antara kalian, dengan ucapan: Laa Ilaha Illallah.” (HR.Muslim, 4/473/1524. At Tirmidzi, dari jalur Abu Said Al Khudri, 4/ 84/898. An Nasa’i, 6/357/1803. Ibnu Majah, 4/375/1434)
 Hadits ini shahih. At Tirmidzi berkata: hasan gharib shahih. (Sunan At Tirmidzi, 4/84/898). Syaikh Al Albani menshahihkan. (Misykah Al Mashabih, 1/364/1616)
 Berkata Imam Abul Hasan  As Sindi, “Maksudnya adalah barangsiapa orang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati, dan membacakan Laa Ilaha Illaha di sisinya, bukan memerintahkan untuk membacanya. (Syarh Sunan An Nasa’i, 3/146)
 Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan: “Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/34)
 Sementara Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan, “Ucapkanlah itu dan ingatkanlah mereka dengannya, saat menghadapi kematian.” Dia berkata: “Disebut Al Mauta karena kematian tengah dihadapinya.” (Hasyiah As Suyuthi, 3/146)
 Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Yakni barang siapa yang menghadapi kematian, maksudnya ingatkanlah dia dengan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapan dalam hidupnya. Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaha Illallahu maka dia akan masuk surga.” Dan perintah talqin di sini adalah sunah, dan ulama telah ijma’ (sepakat) tentang talqin.” (Syarh Shahih Muslim, 3/327)
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa talqin merupakan perbuatan yang ma’tsur (memiliki dasar) dan telah diamalkan kaum muslimin, namun dimakruhkan jika dilakukan secara berlebihan dan berturut-turut, agar tidak membosankan bagi orang tersebut, apalagi dalam kondisi sesaknya napas yang menyakitkan, dan hilangnya sensitiftas terhadap beratnya penderitaan. (Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 3/195)
 Jadi, maknanya adalah membaca Laa Ilaha Illallah untuk orang sedang menghadapi sakaratul maut, bukan membacanya setelah mati. Berbeda dengan pemahaman sebagian umat Islam hari ini, yang mentalqinkan mayat yang sudah di kubur. Namun demikian, jika yang dilakukan di kubur adalah mendoakannya maka itu sunah nabi. Tetapi, hal itu tidak dinamakan talqin sebab talqin menurut tuntunan As Sunnah, sebagaimana penjelasan para ulama di atas, adalah dilakukan sebelum wafat atau ketika naza’ (sakaratul maut).
 Di sebutkan dalam Asna Al Mathalib –salah satu kitab bermadzhab Syafi’i karya   Imam Abu Yahya Zakaria Al Anshari, “Talqin secara mutlak tidaklah dianjurkan bagi mayat yang sudah dikubur.” (Asna Al Mathalib, 4/191)
 Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah duduk di sisi kuburan dan membaca Al Quran, dan mentalqinkan mayat di kuburan sebagaimana yang dilakukan manusia hari ini. (Zaadul Ma’ad, 1/522)

Ø Lafadz Talqin setelah mayit dikubur
Disunnahkan melakukan talqin setelah mayyit dikuburkan dengan sempurna. Talqin adalah mengatakan kepada mayit:
 "يا عبد الله يا ابن أمة الله  -ثلاث مرات- اذكر العهد الذي خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرءان إماما "
"Wahai hamba Allah, anak seorang perempuan hamba Allah – dengan disebut nama mayyit dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan ke Hawwa' - (dikatakan tiga kali), ingatlah perjanjian yang engkau yakini di dunia sampai engkau meninggal dunia; yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa engkau menerima dengan sepenuh hati Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu dan al Qur'an sebagai pemandu dan pembimbingmu".

Jika mayitnya perempuan maka bunyi talqin adalah :
" يا أمة الله  ابنة أمة الله "

"Wahai hamba Allah perempuan, anak seorang perempuan hamba Allah – dengan disebut nama mayyit dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan ke Hawwa' - (dikatakan tiga kali)".

Ø Pertanyaan orang yang tidak suka talqin, mereka berdasarkan dalil ayat al-Qur’an

Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit ditalqin. Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan itu tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an :
y7¨RÎ) Ÿw ßìÏJó¡è@ 4’tAöqyJø9$# [النمل : 80]
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An-Naml : 80)
!$tBur |MRr& 8ìÏJó¡ßJÎ/ `¨B ’Îû Í‘qç7à)ø9$# ÇËËÈ  [فاطر : 22]
Artinya :
“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”(QS. Fathir : 22)
Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan dengan masalah Talqin.
a.    Di dalam ajaran Islam itu ada hal-hal yang berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinya walau pun secara rasional hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.
وكل ما أتى به الرسول    فحقه التسليم والقبول
[عقيدة العوام للشيخ أحمد المرزوقي]
Artinya :
“Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus dibenarkan dan diterima”.
b.    Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan tentang larangan talqin mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang kafir itu telinga hatinya sudah mati, berpaling/tidak menerima apa-apa yang didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir :
قوله تعالى : إنك لا تسمع الموتى ولا تسمع الصم الدعاء إذا ولوا مدبرين أي أنهم لفرط إعراضهم عما يدعون إليه كالميت الذي لا سبيل إلى إسماعه. اهـ [تفسير منير 2/133]
Artinya :
Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikam orang-orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah berpalingjelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah mati”.

قوله : وما أنت بمسمع من في القبور أي وما أنت يا أشرف الخلق بمفهم من هو مثل الميت الذي في القبور. اهـ [تفسير منير 2/202]
Artinya:
Firman Allah yang artinya : dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar” jelasnya : hai Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur”.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.

Ø Pendapat Tentang lafadz MAUTAAKUM ?
Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud lafadz  موتاكم dalam hadits diatas orang-orang yang hampir mati bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya.
Akan tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. karena menurut kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya bukan makna aslinya. Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah mayit kalian sebelum matinya”  maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati) tapi makna majasnya (orang yang hampir mati).
Sedangkan dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang dipilih  oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.

Ø Hukum Mentalqinkan  Orang yang telah meninggal (di kubur) ?
Para ulama berbeda pendapat tentang talqin, yaitu dengan mengatakan kepada mayat: ”Wahai fulan, ingatlah ketika anda keluar dari dunia persaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah ... sampai akhir. Telah ada atsar (berita) dari penduduk Syam akan tetapi tidak shahih. Yang benar bahwa talqin adalah bid’ah. Maka jangan dikatakan: “Wahai fulan, ingatlah apa yang engkau keluar dari dunia. Persaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utasan Allah. Dan sesungguhnya engkau telah rela Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai utusan serta Al-Qur’an sebagai imam. Ini tidak ada asalnya yang dapat dijadikan sandaran. Seharusnya ditinggalkan. Ini yang jadi pengangan, karena perbutan tersebut tidak ada dalilnya.
Akan tetapi ketika orang-orang sudah selesai menguburkan mayat, dianjurkan berdiri dan mendoakan memohonkan ampunan dan keteguhan bagi mayat. Inilah yang dianjurkan. Ketika orang-orang telah selesai menguburkan, hendaklah berdiri dan berdoa baginya dengan ampunan dan keteguhan.
Biasanya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika selesai mayit dikubur, beliau berdiri dan mengucapkan:
اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ . وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
“Mohonkan ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkan keteghuan baginya. Karena dia sekarang ditanya.”
Inilah yang sesuai dengan sunnah.”. (Samahatus Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
Selain pendapat diatas, masih ada hadits lain yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah dikuburkan, yaitu :

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني

“Jika salah satu diantara kalian  mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan duduk. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan berkata : “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan kalian tidak akan merasakannya. Kemudian hendaklah berkata : “ sebutlah sesuatu  yang kamu bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah SWT, Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab Mungkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata : “mari kita pergi. Kita tidak akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya (jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan hujjah) baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki bertanya : wahai Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ?Maka Rasulullah menjawab : nisbatkan kepada Hawa, wahai fulan bin Hawa” (H.R. Thabrani) (2).
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa  mentalqini mayit adalah mustahab (sunah)(3).
Hadits ini memang termasuk hadist yang dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadloilul a`mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shohih dan hadits hasan lidzatih) dan juga tidak termasuk hadits yang matruk (ditinggalkan)(4). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.

Ø Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin

a.    Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang sedang naza’ adalah hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 138 :
ويندب أن يلقن محتضر ولو مميزا على الأوجه الشهادة أي لا إله إلا الله فقط لخبر مسلم : لقنوا موتاكم أي من حضرة الموت لا إله إلا الله، مع الخبر الصحيح : من كان أخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة أي مع الفائزين. اهـ
Artinya :  
“Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih mumayyiz menurut pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim “talqinlah orang Islam di antara kamu yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah” dan hadits shahih “Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah, maka dia masuk surga”, yakni bersama orang-orang yang beruntung”.
b.    Sedangkan dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur adalah :
§      Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 140
وتلقين بالغ ولو شهيدا بعد تمام دفن (قوله وتلقين بالغ) وذلك لقوله تعالى وذكر فإن الذكرى تنفنع المؤمنين [الذاريات : 55] وأحوج ما يكون العبد إلى التذكير في هذه الحالة. اهـ

Artinya:
“Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman Allah : “dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti ini”.
§      Hadits riwayat Thabarani :
إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحد على رأس قبره ثم ليقل يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعدا ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون. فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وإنك رضيت بالله وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما. فإن منكرا ونكيرا ياخذ كل واحد منهما بيد صاحبه. اهـ
Artinya :
“Apabila salah seorang  di antara saudaramu telah meninggal dan penguburannya telah kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka berdirilah salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : “hai fulan bin fulanah” maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah “hai fulan bin fulanah” maka dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi “hai fulan bin fulanah” maka dia berkata “berilah saya petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu”. Akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti. Seterusnya katakanlah kepadanya “ingatlah apa yang kamu pegangi sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabi mu dan Al-Qur’an sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan mereka berdua”.

§      Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin :
يندب التلقين بعد تمام دفنه لخبر : العبد إذا وضع في قبره وتولى وذهب أصحابه حتى أنه يسمع قرع نعالهم أتاه ملكان. الحديث اهـ [إعانة الطالبين 2/140]
Artinya :
“Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena ada hadits : “Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar suara sepatu mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya”.

Selain hadits di atas, masih ada hadits lain yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah dikuburkan, yaitu :

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني

“Jika salah satu diantara kalian  mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati,
Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .

“Apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan berkata : mintalah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mintalah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)(5).
Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :

وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم

Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir(6).
Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa terhibur dengannya.
Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT :

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “
Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut(7). Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin.

Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1.    Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat
bagi si mayit.
2.    Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau suara-suara yang ada di alam dunia ini.
3.    Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin adalah sunat tidak bid’ah dan tidak dilarang seperti apa yang dituduhkan oleh kaum wahabi.

Ø Mazhab Islam Yang Mengharuskan Talqin

1-Berkata As-Syeikh Al-Alim Abdul Al-Ghony Al-Ghonimy Ad-Dimasyqy Al-Hanafi dalam kitab beliau berjudul Al-Lubab Fi Syarhil Kitab pada jilid 1 mukasurat 125 menyatakan :
: “وأما تلقينه (أي الميت) في القبر فمشروع عند أهل السنة لأن الله تعالى يحييه في قبره”.
“Manakala hukum mentalqin mayat pada kubur adalah merupakan syariat islam disisi Ahli Sunnah Wal Jamaah kerana Allah ta’ala menghidupkannya dalam kuburnya”.
Telah jelas bahawa dalam mazhab Hanafi amalan talqin adalah diharuskan bahkan disyariatkan.
Adakah Wahhabi akan membid’ahkan serta mengkafirkan ulama Hanafi kerana mengharuskan amalan talqin? Kenapa wahhabi benci sangat dengan amalan talqin?
Apa kesalahan talqin terhadap kamu wahai wahhabi?
Mazhab Maliki Mengharuskan Amalan Talqin
1- Imam Al-Qurtuby Al-Maliky pengarang kitab tafsir terkenal telah menulis satu bab yang khusus mengenai amalan talqin disisi mazhab Maliki dalam kitab beliau berjudul At-Tazkirah Bil Ahwal Al-Mauta Wal Akhiroh pada mukasurat 138-139 :
باب ما جاء في تلقين الإنسان بعد موته شهادة الإخلاص في لحده
Didalam bab itu juga Imam Qurtuby telah menjelaskan amalan talqin dilakukan oleh para ulama islam di Qurtubah dan mereka mengharuskannya.
Dalam mazhab Maliki juga bercanggah dengan mereka yang mengharamkan amalan talqin.
Dimana anda wahai si pengharam tanpa dalil?!
Mazhab Syafi’e Mengharuskan Dan Mengalakkan Amalan Talqin
1- Imam An-Nawawi As-Syafi’e menyatakan dalam kitab beliau berjudul Al-Majmuk pada jilid 5 mukasurat 303-304 :

قال جماعات من أصحابنا يستحب تلقين الميت عقب دفنه” ثم قال: “ممن نص على استحبابه: القاضي حسين والمتولي والشيخ نصر المقدسي
Yang bermaksud : “ Telah menyatakan oleh ramai para ulama dari mazhab Syafi’e bahawa disunatkan talqin pada mayat ketika mengebumikannya”.
Kenyataan mazhab Syafi’e dari kitab yang sama :
وسئل الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله عنه فقال: التلقين هو الذي نختاره ونعمل به
Imam Nawawi menyatakan : “ Telah ditanya kepada As-Syeikh Abu Amru Bin As-Solah mengenai talqin maka beliau menjawab Amalan talqin merupakan pilihan kita (mazhab Syafi’e) dan kami beramal dengannya”.

2- Imam Abu Qosim Ar-Rofi’e As-Syafi’e menyatakan dalam kitab beliau berjudul Fathul ‘Aziz Bi syarh Al-Wajiz tertera juga pada bawah kita Al-Majmuk oleh Imam Nawawi pada jilid 5 mukasurat 242 :

ويستحب أن يُلقن الميت بعد الدفن فيقال: يا عبد الله بن أمة الله …” إلى اخره .
Yang bermaksud : Digalakkan dan disunatkan mentalqin mayat selepas mengebumikannya dan dibaca : Wahai hamba Allah bin hamba Allah…(bacaan talqin).
Di malaysia kita umat islam kebanyakannya berpegang dengan mazhab Syafi’e. Kenapa anda buat fitnah ke tanah air kita wahai Wahhabi? Dengan memecah belahkan umat islam mengunakan isu talqin. Sedangkan hukum talqin adalah harus berdalilkan dari hadith Nabawi.
Mazhab Hambali Mengharuskan Talqin
1- Imam Mansur Bin Yusuf Al-Buhuty Al-Hambaly menyatakan hukum pengharusan talqin dalam kitab beliau berjudul Ar-Raudul Mari’ mukasurat 104.
2- Imam Al-Mardawy Al-Hambaly dalam kitabnya Al-Insof Fi Ma’rifatil Rojih Minal Khilaf pada jilid 2 mukasurat 548-549 menyatakan :
فائدة يستحب تلقين الميت بعد دفنه عند أكثر الأصحاب

Yang bermaksud : “ Kenyataan yang penting : Disunatkan hukum talqin mayat selepas mengkebumikannya disisi kebanyakan ulama ( selainnay hanya mengaruskan sahaja).

Ø Faedah Talqin
Faedah dari talqin adalah seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut diatas:
" فإن منكرا ونكيرا يقول أحدهما لصاحبه انطلق بنا ما يقعدنا عند رجل لقن حجته "
Maknanya : "Sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir, salah seorang berkata kepada yang lain : Marilah kita pergi , untuk apa kita duduk di dekat orang yang sudah diajarkan hujjahnya (dalam menjawab pertanyaan kita)".
Jadi faedah dari talqin adalah bahwa mayyit akan terbebas dari pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakir dan selamat dari siksa kubur.
Talqin adalah ajaran tata cara dzikir dari guru thoriqoh yang telah mendapatkan izin untuk mengijazahkan secara sah dan mempunyai sanad muttashil sampai kepada mu’assis/shohibuth thoriq dan bersambung terus sampai Nabi Muhammad SAW .( Ma’khodz : jami’ul ushul hal. 31-32 dan 102)

4 komentar:

  1. Pemahaman anda rancu bro, jika anda dah mengakui bahwa talqin semestinya dilakukan saat kematian seseorang maka tidak bermanfaat talqin setelah kematia nnya sebab keterangan waktu terhadap amal yang menentukan tersebut secara bahasa sudah memberi penegasan bahwa hal itu hanya bermanfaat ketika sebelum keatiannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau tidak bermanfaat untuk orang yg sudah meninggal... Trus kenapa didalam sholat kita mendoa kan nya...?.. maaf sblumnya yg punya haq itu allah.. jgn dgn sombongnya kita mengatakan beemanfaat atw tidak nya. Bg yg paham mentalqinkan silahkan... Bgi yg tidak paham jgn mencaci tw merendahakan pa lagi membuat kata kata bidah.. ilmu kita belum seberapa

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Bagi muslimin dan muslimat jangan talkin yang dipemasalahkan.Kalau mau dipakai silakan,cari dalilnya.Jika tidak sesuai dengan ilmu yang kita miliki jangan dipertetentangkan. Ulama saja sudah tidak sependapat.Apalagi kita yang masih hijau.

    BalasHapus