TALQIN
MAYIT Lengkap Beserta Penjelasannya
Sebetulnya masalah
TALQIN dengan segala macam persoalannya itu sudah dikupas oleh para ulama
mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan
selalu diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan tetapi amaliyah warga kita tadi menjadi terancam
kelangsungannya sejak munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi yang
sangat berlebihan dalam usaha memurnikan ajaran Islam, sampai-sampai mereka itu
melarang amalan-amalan umat Islam yang bersifat furu’iyah, misalnya : tahlilan,
bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut
Ahlussunnah wal Jamaah.
Ø Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan kembali kepada orang yang
sedang naza’ atau kepada mayit yang baru saja dikubur dengan kalimah-kalimah
tertentu.
Talqin adalah memahamkan atau
mengajarkan. Laqqana Al kalam artinya mengajarkan sebuah ucapan. Talqin menurut
syariat adalah memahamkan kalimat tauhid ketika manusia mengalami sakaratul
maut (naza’). (Mausu’ah Fiqh Al ‘Ibadah, 1/187)
Talqin ada 2 :
1.
Sebelom mati
2. Sesudah dikubur
Ø Adab-Adab Talkin
1.
Hendaknya dilakukan secukupnya tanpa perlu
mengulang-ulang
Para ulama memakruhkan talkin yang
dilakukan berulang-ulang dan terus menerus. Karena hal ini justru akan
mengakibatkan seorang yang sedang sakaratul maut merasa tertekan dengan
tuntunan itu. Padahal ia sedang merasakan penderitaan yang sangat. Sehingga
ditakutkan akan munculnya ketidaksukaannya terhadap kalimat ini di dalam
qalbunya. Bahkan bisa jadi akan ia ungkapkan dengan ucapannya, sehingga bukan
ucapan tauhid yang ia ucapkan, justru celaan dan kebencian terhadap kalimat ini
yang keluar dari mulutnya.
2.
Cukup sekali, kecuali bila mengucap ucapan
lainnya
Apabila orang yang sedang sakaratul maut telah
mengucapkan kalimat ini, maka telah mencukupi dan tidak perlu di-talkin lagi. Namun,
bila setelah ia mengucapkan kalimat ini ia mengucapkan kalimat lain, maka perlu
kembali di-talkin, sehingga kalimat ini adalah kalimat akhirnya.
3.
Talkin adalah mengingatkan bukan memerintahkan
Kadang kita dapati seorang men-talkin
saudaranya dengan kalimat tauhid ini namun dengan cara memerintah. Padahal,
talkin yang dilakukan saat seperti ini sifatnya
sekadar mengingatkan. Sebab, selain dituntut untuk mengatakan
kalimat tauhid, juga dituntut untuk meyakini kandungan kalimat ini. Nah, kalau
talkin ini bersifat perintah, boleh jadi ia akan mengucapkannya karena tekanan
perintah saja, sedangkan jiwanya mengingkarinya. Lalu apakah artinya ucapan ini
bila tidak diyakini. Demikian yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah dalam Syarh Riyadush Shalihin.
4.
Talkin diperuntukkan kepada seluruh orang
Yakni tidak khusus diperuntukkan untuk
seorang muslim saja. Namun
juga dianjurkan bagi orang kafir untuk mengucapkan kalimat ini.
Diharapkan, di akhir hidupnya termasuk orang yang bertauhid. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam men-talkin paman beliau Abu Thalib
tatkala menghadapi kematian.
5.
Talkin dengan lafadz Allah saja?
Sebagian orang berpendapat bahwa men-talkin boleh
dengan lafadz Allah saja. Alasannya khawatir dengan kalimat yang panjang, laa ilaaha illallah, bisa jadi
baru membaca laa ilaaha keburu mati. Sehingga maknanya justru sangat fatal,
yaitu tidak ada sesembahan. Sehingga menurut mereka, orang semacam ini mati
dalam keadaan tidak bertuhan.
Pendapat
ini tidak benar karena beberapa alasan. Di antaranya:
1.
Dalam hadits secara tegas men-talkin dengan laa ilaaha illallah.
2.
Lafadz Allah saja tidak menunjukkan tauhid orang yang mengucapkannya.
3.
Allah mengangkat hukum (tidak memberikan beban) kepada siapa saja di luar
kemampuannya. Seperti orang yang lupa atau terpaksa. Maka kondisi saat sekarat
tentu lebih utama untuk dimaafkan. Apalagi orang tersebut tentunya meniatkan
untuk melafadzkan secara utuh. Sedangkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim,
Rasulullah menjelaskan bahwa amalan itu sesuai dengan niatnya. Allahu a’lam.
Referensi:
- Syarh Shahih Muslim, An Nawawi rahimahullah.
- Syarh Shahih Muslim, An Nawawi rahimahullah.
- Aunul
Ma’bud, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq
rahimahullah.
-
Faidhul Qadir, Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi
rahimahullah.
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 20 vol. 02 1433 H –
2012, hal. 38-40.
Ø Mentalqinkan Dengan lafal LA ILAHA ILLAH sebelum meninggal
Talqin adalah sunnah, dan ini telah disepakati para imam kaum muslimin.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
لَقِّنُوا
مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah orang sedang
menghadapi kematian di antara kalian, dengan ucapan: Laa Ilaha Illallah.”
(HR.Muslim, 4/473/1524. At Tirmidzi, dari jalur Abu Said Al Khudri, 4/ 84/898.
An Nasa’i, 6/357/1803. Ibnu Majah, 4/375/1434)
Hadits ini shahih. At Tirmidzi
berkata: hasan gharib shahih. (Sunan At Tirmidzi, 4/84/898). Syaikh Al Albani
menshahihkan. (Misykah Al Mashabih, 1/364/1616)
Berkata Imam Abul Hasan As Sindi, “Maksudnya adalah barangsiapa orang
sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati, dan membacakan Laa
Ilaha Illaha di sisinya, bukan memerintahkan untuk membacanya. (Syarh Sunan An
Nasa’i, 3/146)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri
mengatakan: “Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang
sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah
Al Ahwadzi, 3/34)
Sementara Imam Al Qurthubi
Rahimahullah mengatakan, “Ucapkanlah itu dan ingatkanlah mereka dengannya, saat
menghadapi kematian.” Dia berkata: “Disebut Al Mauta karena kematian tengah
dihadapinya.” (Hasyiah As Suyuthi, 3/146)
Imam An Nawawi Rahimahullah
mengatakan, “Yakni barang siapa yang menghadapi kematian, maksudnya ingatkanlah
dia dengan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapan dalam hidupnya.
Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaha
Illallahu maka dia akan masuk surga.” Dan perintah talqin di sini adalah sunah,
dan ulama telah ijma’ (sepakat) tentang talqin.” (Syarh Shahih Muslim, 3/327)
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa talqin merupakan perbuatan yang ma’tsur
(memiliki dasar) dan telah diamalkan kaum muslimin, namun dimakruhkan jika
dilakukan secara berlebihan dan berturut-turut, agar tidak membosankan bagi
orang tersebut, apalagi dalam kondisi sesaknya napas yang menyakitkan, dan
hilangnya sensitiftas terhadap beratnya penderitaan. (Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih
Muslim, 3/195)
Jadi, maknanya adalah membaca Laa
Ilaha Illallah untuk orang sedang menghadapi sakaratul maut, bukan membacanya
setelah mati. Berbeda dengan pemahaman sebagian umat Islam hari ini, yang
mentalqinkan mayat yang sudah di kubur. Namun demikian, jika yang dilakukan di
kubur adalah mendoakannya maka itu sunah nabi. Tetapi, hal itu tidak dinamakan
talqin sebab talqin menurut tuntunan As Sunnah, sebagaimana penjelasan para
ulama di atas, adalah dilakukan sebelum wafat atau ketika naza’ (sakaratul
maut).
Di sebutkan dalam Asna Al Mathalib
–salah satu kitab bermadzhab Syafi’i karya
Imam Abu Yahya Zakaria Al Anshari, “Talqin secara mutlak tidaklah
dianjurkan bagi mayat yang sudah dikubur.” (Asna Al Mathalib, 4/191)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah duduk di sisi
kuburan dan membaca Al Quran, dan mentalqinkan mayat di kuburan sebagaimana
yang dilakukan manusia hari ini. (Zaadul Ma’ad, 1/522)
Ø Lafadz
Talqin setelah mayit dikubur
Disunnahkan melakukan talqin setelah mayyit dikuburkan dengan sempurna.
Talqin adalah mengatakan kepada mayit:
"يا عبد الله يا
ابن أمة الله -ثلاث مرات- اذكر العهد الذي خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا
إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا
وبالقرءان إماما "
"Wahai hamba Allah, anak seorang perempuan hamba Allah – dengan
disebut nama mayyit dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka
dinisbahkan ke Hawwa' - (dikatakan tiga kali), ingatlah perjanjian yang engkau
yakini di dunia sampai engkau meninggal dunia; yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan
yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah dan bahwa engkau menerima dengan sepenuh hati Allah sebagai Tuhanmu,
Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu dan al Qur'an sebagai pemandu
dan pembimbingmu".
Jika mayitnya perempuan maka bunyi talqin adalah :
" يا أمة الله
ابنة أمة الله "
"Wahai hamba Allah perempuan,
anak seorang perempuan hamba Allah – dengan disebut nama mayyit dan nama
ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan ke Hawwa' -
(dikatakan tiga kali)".
Ø Pertanyaan orang yang tidak
suka talqin, mereka berdasarkan dalil ayat al-Qur’an
Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa
Mendengar Ucapan Orang yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada
sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit ditalqin. Alasan mereka, menurut
akal kita mayit yang sudah ada di kuburan itu tidak mampu lagi mendengarkan
ucapan orang yang ada di alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an :
y7¨RÎ) Ÿw ßìÏJó¡è@ 4’tAöqyJø9$# [النمل : 80]
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar” (QS. An-Naml : 80)
!$tBur |MRr& 8ìÏJó¡ßJÎ/ `¨B ’Îû Í‘qç7à)ø9$# ÇËËÈ [فاطر : 22]
Artinya
:
“Dan kamu
sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat
mendengar”(QS. Fathir : 22)
Kepada mereka perlu kita
beri pengertian mengenai hal yang berkenaan dengan masalah Talqin.
a. Di
dalam ajaran Islam itu ada hal-hal yang berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinya walau pun secara rasional hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib
menerimanya.
وكل ما أتى به الرسول فحقه التسليم والقبول
[عقيدة العوام للشيخ أحمد
المرزوقي]
Artinya :
“Semua
hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus dibenarkan dan
diterima”.
b. Kedua
ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan tentang larangan talqin
mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang kafir itu telinga hatinya
sudah mati, berpaling/tidak
menerima apa-apa yang
didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir :
قوله تعالى : إنك لا تسمع
الموتى ولا تسمع الصم الدعاء إذا ولوا مدبرين أي أنهم لفرط إعراضهم عما يدعون إليه
كالميت الذي لا سبيل إلى إسماعه. اهـ [تفسير منير 2/133]
Artinya :
“Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikam orang-orang yang mati
mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang tuli mendenganr panggilan,
apabila mereka telah berpaling” jelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang didakwahkan kepada
mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah mati”.
قوله : وما أنت بمسمع من في
القبور أي وما أنت يا أشرف الخلق بمفهم من هو مثل الميت الذي في القبور. اهـ
[تفسير منير 2/202]
Artinya:
“Firman Allah yang artinya : “dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar” jelasnya : hai Muhanunad, makhluk yang paling mulia,
kamu tidak bisa memberi pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur”.
Dengan kata lain, Nabi
Muhammad SAW. tidak
dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Ø Pendapat Tentang
lafadz MAUTAAKUM ?
Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa
yang dimaksud lafadz موتاكم dalam hadits diatas orang-orang
yang hampir mati bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut
menggunakan arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya.
Akan tetapi, tidak salah juga jika kita
artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. karena
menurut kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna
majasnya diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna
majasnya bukan makna aslinya. Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah
mayit kalian sebelum matinya” maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan
qorinah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam
kalimat ini bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati) tapi makna
majasnya (orang yang hampir mati).
Sedangkan
dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna
majasnya, maka sah saja jika kita mengartikannya dengan makna aslinya yaitu
orang-orang yang telah mati bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang
dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy
Syaukany, dan Ulama lainya.
Ø Hukum Mentalqinkan Orang yang telah meninggal (di kubur) ?
Para ulama berbeda pendapat tentang talqin, yaitu dengan mengatakan kepada
mayat: ”Wahai fulan, ingatlah ketika anda keluar dari dunia persaksian bahwa
tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah ... sampai akhir. Telah
ada atsar (berita) dari penduduk Syam akan tetapi tidak shahih. Yang benar
bahwa talqin adalah bid’ah. Maka jangan dikatakan: “Wahai fulan, ingatlah apa
yang engkau keluar dari dunia. Persaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan
Muhammad adalah utasan Allah. Dan sesungguhnya engkau telah rela Allah sebagai
tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai utusan serta Al-Qur’an sebagai
imam. Ini tidak ada asalnya yang dapat dijadikan sandaran. Seharusnya
ditinggalkan. Ini yang jadi pengangan, karena perbutan tersebut tidak ada
dalilnya.
Akan tetapi ketika
orang-orang sudah selesai menguburkan mayat, dianjurkan berdiri dan mendoakan
memohonkan ampunan dan keteguhan bagi mayat. Inilah yang dianjurkan. Ketika
orang-orang telah selesai menguburkan, hendaklah berdiri dan berdoa baginya
dengan ampunan dan keteguhan.
Biasanya Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam ketika selesai mayit dikubur, beliau berdiri dan
mengucapkan:
اسْتَغْفِرُوا
لأَخِيكُمْ . وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
“Mohonkan ampunan untuk
saudara kalian, dan mohonkan keteghuan baginya. Karena dia sekarang ditanya.”
Inilah yang sesuai dengan
sunnah.”. (Samahatus
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
Selain pendapat diatas, masih ada hadits lain
yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah dikuburkan, yaitu :
إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني
“Jika salah satu diantara
kalian mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah
salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata :
“wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu
orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa
menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang
mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan
duduk. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati,
pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan berkata
: “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan kalian tidak akan
merasakannya. Kemudian hendaklah berkata : “ sebutlah sesuatu yang kamu
bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah SWT,
Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi
Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab Mungkar
dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata : “mari kita pergi. Kita tidak
akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya
(jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan
hujjah) baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki
bertanya : wahai Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ?Maka Rasulullah
menjawab : nisbatkan kepada Hawa, wahai fulan bin Hawa” (H.R. Thabrani) (2).
Berdasarkan hadits ini
ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah
serta Malikiyah menyatakan bahwa mentalqini mayit adalah mustahab (sunah)(3).
Hadits ini memang termasuk
hadist yang dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih
bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadloilul a`mal dan anjuran
untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits
shohih dan hadits hasan lidzatih) dan juga tidak termasuk hadits yang matruk
(ditinggalkan)(4). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.
Ø Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin
a. Dalil
tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang sedang naza’ adalah
hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri dalam kitab I’anatut
Thalibin juz II hal. 138 :
ويندب أن يلقن محتضر ولو مميزا على الأوجه الشهادة أي لا إله إلا
الله فقط لخبر مسلم : لقنوا موتاكم أي من حضرة الموت لا إله إلا الله، مع الخبر
الصحيح : من كان أخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة أي مع الفائزين. اهـ
Artinya :
“Disunatkan
mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih mumayyiz menurut pendapat
yang kuat dengan kalimat syahadat, karena ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim “talqinlah orang Islam
di antara kamu yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah” dan
hadits shahih “Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha
Illallah, maka dia masuk surga”, yakni bersama orang-orang yang beruntung”.
b. Sedangkan
dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur adalah :
§
Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 140
وتلقين بالغ ولو شهيدا بعد تمام دفن (قوله وتلقين بالغ) وذلك لقوله
تعالى وذكر فإن الذكرى تنفنع المؤمنين [الذاريات : 55] وأحوج ما يكون العبد إلى
التذكير في هذه الحالة. اهـ
Artinya:
“Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid
setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman Allah :
“dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman” (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan seorang hamba sangat
membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti ini”.
§
Hadits riwayat Thabarani :
إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحد على رأس
قبره ثم ليقل يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي
قاعدا ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون.
فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده
ورسوله وإنك رضيت بالله وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما. فإن منكرا
ونكيرا ياخذ كل واحد منهما بيد صاحبه. اهـ
Artinya :
“Apabila
salah seorang di antara saudaramu telah meninggal dan penguburannya telah
kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka berdirilah salah seorang di penghujung
kuburnya, dan berkatalah : “hai fulan bin fulanah” maka dia bisa mendengarnya.
Kemudian berkatalah “hai fulan bin fulanah” maka dia duduk dengan tegak.
Berkatalah lagi “hai fulan bin fulanah” maka dia berkata “berilah saya
petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu”. Akan tetapi kamu sekalian
tidak mengerti. Seterusnya katakanlah kepadanya “ingatlah apa yang kamu pegangi
sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela
Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabi mu dan
Al-Qur’an sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling
berpegangan tangan mereka berdua”.
§
Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin :
يندب التلقين بعد تمام دفنه لخبر : العبد إذا وضع في قبره وتولى وذهب
أصحابه حتى أنه يسمع قرع نعالهم أتاه ملكان. الحديث اهـ [إعانة الطالبين 2/140]
Artinya :
“Disunatkan
mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena ada hadits : “Ketika
mayit telah ditempatkan di kuburnya dan teman-temannya sudah pergi
meninggalkannya sehingga dia mendengar suara sepatu mereka, maka datanglah dua
malaikat kepadanya”.
Selain hadits di atas,
masih ada hadits lain yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah
dikuburkan, yaitu :
إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني
“Jika salah satu diantara
kalian mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah
salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata :
“wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu
orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa
menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang
mati,
Selain
itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .
“Apabila
Rasulullah SAW selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan
berkata : mintalah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mintalah untuknya
keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia
sekarang sedang ditanya” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)(5).
Juga
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :
وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم
Diriwayatkan
dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka
hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta
dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya
mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir(6).
Semua
hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga
menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa
terhibur dengannya.
Salah
satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]
“Dan
tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman. “
Ayat
ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan
orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka
talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya
adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat
kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut(7).
Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan
pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin.
Dari keterangan ayat dan
hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1. Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat
bagi si mayit.
bagi si mayit.
2. Mayit
yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau suara-suara yang ada di
alam dunia ini.
3. Karena
jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin adalah sunat tidak bid’ah dan tidak dilarang seperti apa yang dituduhkan oleh kaum
wahabi.
Ø Mazhab Islam Yang Mengharuskan Talqin
1-Berkata As-Syeikh Al-Alim Abdul Al-Ghony Al-Ghonimy
Ad-Dimasyqy Al-Hanafi dalam kitab beliau berjudul Al-Lubab Fi Syarhil Kitab
pada jilid 1 mukasurat 125 menyatakan :
: “وأما
تلقينه (أي الميت) في القبر فمشروع عند أهل السنة لأن الله تعالى يحييه في قبره”.
“Manakala
hukum mentalqin mayat pada kubur adalah merupakan syariat islam disisi Ahli
Sunnah Wal Jamaah kerana Allah ta’ala menghidupkannya dalam kuburnya”.
Telah
jelas bahawa dalam mazhab Hanafi amalan talqin adalah diharuskan bahkan
disyariatkan.
Adakah
Wahhabi akan membid’ahkan serta mengkafirkan ulama Hanafi kerana mengharuskan
amalan talqin? Kenapa wahhabi benci sangat dengan amalan talqin?
Apa kesalahan talqin terhadap kamu wahai wahhabi?
Apa kesalahan talqin terhadap kamu wahai wahhabi?
Mazhab
Maliki Mengharuskan Amalan Talqin
1-
Imam Al-Qurtuby Al-Maliky pengarang kitab tafsir terkenal telah menulis satu
bab yang khusus mengenai amalan talqin disisi mazhab Maliki dalam kitab beliau
berjudul At-Tazkirah Bil Ahwal Al-Mauta Wal Akhiroh pada mukasurat 138-139 :
باب ما جاء في تلقين الإنسان بعد موته
شهادة الإخلاص في لحده
Didalam
bab itu juga Imam Qurtuby telah menjelaskan amalan talqin dilakukan oleh para
ulama islam di Qurtubah dan mereka mengharuskannya.
Dalam
mazhab Maliki juga bercanggah dengan mereka yang mengharamkan amalan talqin.
Dimana
anda wahai si pengharam tanpa dalil?!
Mazhab
Syafi’e Mengharuskan Dan Mengalakkan Amalan Talqin
1-
Imam An-Nawawi As-Syafi’e menyatakan dalam kitab beliau berjudul Al-Majmuk pada
jilid 5 mukasurat 303-304 :
قال جماعات من أصحابنا يستحب تلقين
الميت عقب دفنه” ثم قال: “ممن نص على استحبابه: القاضي حسين والمتولي والشيخ نصر
المقدسي”
Yang
bermaksud : “ Telah menyatakan oleh ramai para ulama dari mazhab Syafi’e bahawa
disunatkan talqin pada mayat ketika mengebumikannya”.
Kenyataan
mazhab Syafi’e dari kitab yang sama :
“وسئل الشيخ
أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله عنه فقال: التلقين هو الذي نختاره ونعمل به”
Imam
Nawawi menyatakan : “ Telah ditanya kepada As-Syeikh Abu Amru Bin As-Solah
mengenai talqin maka beliau menjawab Amalan talqin merupakan pilihan kita
(mazhab Syafi’e) dan kami beramal dengannya”.
2- Imam Abu Qosim Ar-Rofi’e As-Syafi’e menyatakan dalam kitab beliau berjudul Fathul ‘Aziz Bi syarh Al-Wajiz tertera juga pada bawah kita Al-Majmuk oleh Imam Nawawi pada jilid 5 mukasurat 242 :
“ويستحب أن يُلقن الميت بعد الدفن فيقال: يا عبد الله بن أمة الله …” إلى اخره .
Yang
bermaksud : Digalakkan dan disunatkan mentalqin mayat selepas mengebumikannya
dan dibaca : Wahai hamba Allah bin hamba Allah…(bacaan talqin).
Di
malaysia kita umat islam kebanyakannya berpegang dengan mazhab Syafi’e. Kenapa
anda buat fitnah ke tanah air kita wahai Wahhabi? Dengan memecah belahkan umat
islam mengunakan isu talqin. Sedangkan hukum talqin adalah harus berdalilkan
dari hadith Nabawi.
Mazhab
Hambali Mengharuskan Talqin
1-
Imam Mansur Bin Yusuf Al-Buhuty Al-Hambaly menyatakan hukum pengharusan talqin
dalam kitab beliau berjudul Ar-Raudul Mari’ mukasurat 104.
2- Imam Al-Mardawy Al-Hambaly dalam kitabnya Al-Insof Fi Ma’rifatil Rojih Minal Khilaf pada jilid 2 mukasurat 548-549 menyatakan :
2- Imam Al-Mardawy Al-Hambaly dalam kitabnya Al-Insof Fi Ma’rifatil Rojih Minal Khilaf pada jilid 2 mukasurat 548-549 menyatakan :
“فائدة
يستحب تلقين الميت بعد دفنه عند أكثر الأصحاب”
Yang
bermaksud : “ Kenyataan yang penting : Disunatkan hukum talqin mayat selepas
mengkebumikannya disisi kebanyakan ulama ( selainnay hanya mengaruskan sahaja).
Ø Faedah Talqin
Faedah dari talqin adalah seperti yang
disebutkan dalam hadits tersebut diatas:
" فإن منكرا
ونكيرا يقول أحدهما لصاحبه انطلق بنا ما يقعدنا عند رجل لقن حجته "
Maknanya : "Sesungguhnya malaikat
Munkar dan Nakir, salah seorang berkata kepada yang lain : Marilah kita pergi ,
untuk apa kita duduk di dekat orang yang sudah diajarkan hujjahnya (dalam
menjawab pertanyaan kita)".
Jadi faedah dari talqin adalah bahwa
mayyit akan terbebas dari pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakir dan selamat
dari siksa kubur.
Talqin adalah ajaran tata cara dzikir dari guru thoriqoh yang telah
mendapatkan izin untuk mengijazahkan secara sah dan mempunyai sanad muttashil
sampai kepada mu’assis/shohibuth thoriq dan bersambung terus sampai Nabi Muhammad SAW .( Ma’khodz
: jami’ul ushul hal. 31-32 dan 102)
Pemahaman anda rancu bro, jika anda dah mengakui bahwa talqin semestinya dilakukan saat kematian seseorang maka tidak bermanfaat talqin setelah kematia nnya sebab keterangan waktu terhadap amal yang menentukan tersebut secara bahasa sudah memberi penegasan bahwa hal itu hanya bermanfaat ketika sebelum keatiannya.
BalasHapusKalau tidak bermanfaat untuk orang yg sudah meninggal... Trus kenapa didalam sholat kita mendoa kan nya...?.. maaf sblumnya yg punya haq itu allah.. jgn dgn sombongnya kita mengatakan beemanfaat atw tidak nya. Bg yg paham mentalqinkan silahkan... Bgi yg tidak paham jgn mencaci tw merendahakan pa lagi membuat kata kata bidah.. ilmu kita belum seberapa
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBagi muslimin dan muslimat jangan talkin yang dipemasalahkan.Kalau mau dipakai silakan,cari dalilnya.Jika tidak sesuai dengan ilmu yang kita miliki jangan dipertetentangkan. Ulama saja sudah tidak sependapat.Apalagi kita yang masih hijau.
BalasHapus